Jumat, 03 April 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 2008
TENTANG
PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT,
DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi
politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai
penyalur aspirasi keanekaragaman daerah sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diselenggarakan
pemilihan umum;
b. bahwa pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi Undang-Undang dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum serta adanya perkembangan demokrasi dan dinamika masyarakat, maka Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, perlu diganti;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan RakyatDaerah;

Mengingat : 1. Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 2 ayat (1), Pasal 5 ayat (1),
Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20, Pasal 22C ayat (1)dan ayat (2), Pasal 22E, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24C, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 30 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4721);
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801);

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN
DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

2. Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Pemilu untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
kabupaten/kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

3. Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disebut DPR, adalah Dewan
Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

4. Dewan Perwakilan Daerah, selanjutnya disebut DPD, adalah Dewan
Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat
CETRO (Center for Electoral Reform)
3
Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

6. Komisi Pemilihan Umum, selanjutnya disebut KPU, adalah lembaga
penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

7. Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten/Kota, selanjutnya disebut KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota,
adalah penyelenggara Pemilu di provinsi dan kabupaten/kota.

8. Panitia Pemilihan Kecamatan, selanjutnya disebut PPK, adalah panitia yang
dibentuk oleh KPU kabupaten/kota untuk menyelenggarakan Pemilu di
tingkat kecamatan atau sebutan lain, yang selanjutnya disebut kecamatan.

9. Panitia Pemungutan Suara, selanjutnya disebut PPS, adalah panitia yang
dibentuk oleh KPU kabupaten/kota untuk menyelenggarakan Pemilu di
tingkat desa atau sebutan lain/kelurahan, yang selanjutnya disebut
desa/kelurahan.

10. Panitia Pemilihan Luar Negeri, selanjutnya disebut PPLN, adalah panitia
yang dibentuk oleh KPU untuk menyelenggarakan Pemilu di luar negeri.

11. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara, selanjutnya disebut KPPS,
adalah kelompok yang dibentuk oleh PPS untuk menyelenggarakan
pemungutan suara di tempat pemungutan suara.

12. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri, selanjutnya
disebut KPPSLN, adalah kelompok yang dibentuk oleh PPLN untuk
menyelenggarakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara di luar
negeri.

13.Tempat Pemungutan Suara, selanjutnya disebut TPS, adalah tempat
dilaksanakannya pemungutan suara.

14. Tempat Pemungutan Suara Luar Negeri, selanjutnya disebut TPSLN, adalah
tempat dilaksanakannya pemungutan suara di luar negeri.

15. Badan Pengawas Pemilu, selanjutnya disebut Bawaslu, adalah badan yang
bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

16.Panitia Pengawas Pemilu Provinsi dan Panitia Pengawas Pemilu
Kabupaten/Kota, selanjutnya disebut Panwaslu provinsi dan Panwaslu
kabupaten/kota, adalah panitia yang dibentuk oleh Bawaslu untuk
mengawasi penyelenggaraan Pemilu di wilayah provinsi dan kabupaten/kota.

17. Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan, selanjutnya disebut Panwaslu
kecamatan, adalah panitia yang dibentuk oleh Panwaslu kabupaten/kota
untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di wilayah kecamatan.

18. Pengawas Pemilu Lapangan adalah petugas yang dibentuk oleh Panwaslu
kecamatan untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di desa/kelurahan.

19. Pengawas Pemilu Luar Negeri adalah petugas yang dibentuk oleh Bawaslu
untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di luar negeri.

20. Penduduk adalah warga negara Indonesia yang berdomisili di wilayah
Republik Indonesia atau di luar negeri.

21. Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai
Warga Negara.

22. Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh
belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin.

23. Peserta Pemilu adalah partai politik untuk Pemilu anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan perseorangan untuk Pemilu anggota
DPD.

24. Partai Politik Peserta Pemilu adalah partai politik yang telah memenuhi
persyaratan sebagai Peserta Pemilu.

25.Perseorangan Peserta Pemilu adalah perseorangan yang telah memenuhi
persyaratan sebagai Peserta Pemilu.

26. Kampanye Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu untuk meyakinkan para
pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Peserta Pemilu.

27. Bilangan Pembagi Pemilihan bagi kursi DPR, selanjutnya disebut BPP DPR,
adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah seluruh
Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ambang batas perolehan suara
2,5% (dua koma lima perseratus) dari suara sah secara nasional di satu
daerah pemilihan dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk
menentukan jumlah perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu.

28. Bilangan Pembagi Pemilihan bagi kursi DPRD, selanjutnya disebut BPP
DPRD, adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah
dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan jumlah
perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dan terpilihnya anggota DPRD
provinsi dan DPRD kabupaten/kota.


BAB II
ASAS, PELAKSANAAN, DAN
LEMBAGA PENYELENGGARA PEMILU

Pasal 2

Pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Pasal 3

Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota.

Pasal 4

(1) Pemilu dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali.
(2) Tahapan penyelenggaraan Pemilu meliputi:
a. pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih;
b. pendaftaran Peserta Pemilu;
c. penetapan Peserta Pemilu;
d. penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;
e. pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota;
f. masa kampanye;
g. masa tenang;
h. pemungutan dan penghitungan suara;
i. penetapan hasil Pemilu; dan
j. pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota.

(3) Pemungutan suara dilaksanakan pada hari libur atau hari yang diliburkan

Pasal 5

(1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

(2) Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik
berwakil banyak.

Pasal 6

(1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota diselenggarakan oleh KPU.

(2) Pengawasan penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan oleh Bawaslu.
BAB III
PESERTA DAN PERSYARATAN MENGIKUTI PEMILU
Bagian Kesatu
Peserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD

Pasal 7

Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota adalah partai politik.

Pasal 8

(1) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan:
a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai
Politik;
b. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi;
c. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di
provinsi yang bersangkutan;
d. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus)
keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
e. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000
(satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap kepengurusan partai
politik sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan
dengan kepemilikan kartu tanda anggota;
f. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan sebagaimana pada huruf b
dan huruf c; dan
g. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.

(2) Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya dapat menjadi Peserta
Pemilu pada Pemilu berikutnya.

Pasal 9

(1) KPU melaksanakan penelitian dan penetapan keabsahan syarat-syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penelitian dan penetapan
keabsahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan KPU.

Pasal 10
Nama dan tanda gambar partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(1) huruf g dilarang sama dengan:
a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia;
b. lambang lembaga negara atau lambang pemerintah;
c. nama, bendera, lambang negara lain atau lembaga/badan internasional;
d. nama, bendera, simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang;
e. nama atau gambar seseorang; atau
f. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan
nama, lambang, atau tanda gambar partai politik lain.

Bagian Kedua
Peserta Pemilu Anggota DPD

Pasal 11

(1) Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan.
(2) Perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi Peserta
Pemilu setelah memenuhi persyaratan.

Pasal 12

Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2):
a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau
lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah
Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan
(MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
h. sehat jasmani dan rohani;
i. terdaftar sebagai pemilih;
j. bersedia bekerja penuh waktu;
k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada
badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain
yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan
surat pengunduran diri dan yang tidak dapat ditarik kembali;
l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara,
notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan
penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta
pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas,
wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundangundangan;
m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara lainnya,
pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah,
serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
n. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan;
o. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan
p. mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang
bersangkutan.

Pasal 13
(1) Persyaratan dukungan minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf
p meliputi:
a. provinsi yang berpenduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta) orang
harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 1.000 (seribu) pemilih;
b. provinsi yang berpenduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai
dengan 5.000.000 (lima juta) orang harus mendapatkan dukungan dari
paling sedikit 2.000 (dua ribu) pemilih;
c. provinsi yang berpenduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta) sampai
dengan 10.000.000 (sepuluh juta) orang harus mendapatkan dukungan
dari paling sedikit 3.000 (tiga ribu) pemilih;
d. provinsi yang berpenduduk lebih dari 10.000.000 (sepuluh juta) sampai
dengan 15.000.000 (lima belas juta) orang harus mendapatkan dukungan
dari paling sedikit 4.000 (empat ribu) pemilih; atau
e. provinsi yang berpenduduk lebih dari 15.000.000 (lima belas juta) orang
harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 5.000 (lima ribu)
pemilih.

(2) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebar di paling sedikit
50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang
bersangkutan.

(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuktikan
dengan daftar dukungan yang dibubuhi tanda tangan atau cap jempol dan
dilengkapi fotokopi kartu tanda penduduk setiap pendukung.

(4) Seorang pendukung tidak dibolehkan memberikan dukungan kepada lebih
dari satu orang calon anggota DPD.

(5) Dukungan yang diberikan kepada lebih dari satu orang calon anggota DPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dinyatakan batal.

(6) Jadwal waktu pendaftaran Peserta Pemilu calon anggota DPD ditetapkan
oleh KPU.







Bagian Ketiga
Pendaftaran Partai Politik sebagai Calon Peserta Pemilu

Pasal 14

(1) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu dengan mengajukan pendaftaran
untuk menjadi calon Peserta Pemilu kepada KPU.

(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan surat
yang ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan
lain pada kepengurusan pusat partai politik.

(3) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan
dokumen persyaratan.

(4) Jadwal waktu pendaftaran Partai Politik Peserta Pemilu ditetapkan oleh KPU.

Pasal 15

Dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) meliputi:
a. Berita Negara Republik Indonesia yang memuat tanda terdaftar bahwa partai
politik tersebut menjadi badan hukum;
b. keputusan pengurus pusat partai politik tentang pengurus tingkat provinsi dan
pengurus tingkat kabupaten/kota;
c. surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang kantor dan alamat
tetap pengurus tingkat pusat, pengurus tingkat provinsi, dan pengurus tingkat
kabupaten/kota;
d. surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan
keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus)
sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
e. surat keterangan tentang pendaftaran nama, lambang, dan tanda gambar
partai politik dari Departemen; dan
f. surat keterangan mengenai perolehan kursi partai politik di DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari KPU.

Bagian Keempat
Verifikasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu

Pasal 16
(1) KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.

(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai dilaksanakan
paling lambat 9 (sembilan) bulan sebelum hari/tanggal pemungutan suara.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan dan waktu verifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan
KPU.

Bagian Kelima
Penetapan Partai Politik sebagai Peserta Pemilu

Pasal 17

(1) Partai politik calon Peserta Pemilu yang lulus verifikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ditetapkan sebagai Peserta Pemilu oleh KPU.

(2) Penetapan partai politik sebagai Peserta Pemilu dilakukan dalam sidang
pleno KPU.

(3) Penetapan nomor urut partai politik sebagai Peserta Pemilu dilakukan secara
undi dalam sidang pleno KPU terbuka dan dihadiri oleh wakil seluruh Partai
Politik Peserta Pemilu.

(4) Hasil penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
diumumkan oleh KPU.

Bagian Keenam
Pengawasan atas Pelaksanaan Verifikasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu

Pasal 18

(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota melakukan
pengawasan atas pelaksanaan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu
yang dilaksanakan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

(2) Dalam hal Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota
menemukan kesengajaan atau kelalaian yang dilakukan oleh anggota KPU,
KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota dalam melaksanakan verifikasi
sehingga merugikan dan/atau menguntungkan partai politik calon Peserta
Pemilu, maka Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota
menyampaikan temuan tersebut kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota.

(3) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti temuan
Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).

BAB IV
HAK MEMILIH



Pasal 19

(1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap
berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin
mempunyai hak memilih.

(2) Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh
penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih.

Pasal 20

Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih.

BAB V
JUMLAH KURSI DAN DAERAH PEMILIHAN
Bagian Kesatu
Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPR

Pasal 21

Jumlah kursi anggota DPR ditetapkan sebanyak 560 (lima ratus enam puluh).
banyak
Pasal 22

(1) Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi atau bagian provinsi.

(2) Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR paling sedikit 3 (tiga)
kursi dan paling banyak 10 (sepuluh) kursi.

(3) Penentuan daerah pemilihan anggota DPR dilakukan dengan mengubah
ketentuan daerah pemilihan pada Pemilu 2004 berdasarkan ketentuan pada
ayat (2).

(4) Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan lampiran
yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Bagian Kedua
Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPRD Provinsi

Pasal 23
(1) Jumlah kursi DPRD provinsi ditetapkan paling sedikit 35 (tiga puluh lima) dan
paling banyak 100 (seratus).

(2) Jumlah kursi DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada jumlah Penduduk provinsi yang bersangkutan dengan
ketentuan:
a. provinsi dengan jumlah Penduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta)
jiwa memperoleh alokasi 35 (tiga puluh lima) kursi;
b. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai
dengan 3.000.000 (tiga juta) jiwa memperoleh alokasi 45 (empat puluh
lima) kursi;
c. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 3.000.000 (tiga juta) sampai
dengan 5.000.000 (lima juta) jiwa memperoleh alokasi 55 (lima puluh
lima) kursi;
d. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta) sampai
dengan 7.000.000 (tujuh juta) jiwa memperoleh alokasi 65 (enam puluh
lima) kursi;
e. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 7.000.000 (tujuh juta) sampai
dengan 9.000.000 (sembilan juta) jiwa memperoleh alokasi 75 (tujuh
puluh lima) kursi;
f. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 9.000.000 (sembilan juta)
sampai dengan 11.000.000 (sebelas juta) jiwa memperoleh alokasi 85
(delapan puluh lima) kursi;
g. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 11.000.000 (sebelas juta)
jiwa memperoleh alokasi 100 (seratus) kursi.

Pasal 24

(1) Daerah pemilihan anggota DPRD provinsi adalah kabupaten/kota atau
gabungan kabupaten/kota.

(2) Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi ditetapkan
sama dengan Pemilu sebelumnya.

Pasal 25

(1) Jumlah kursi anggota DPRD provinsi yang dibentuk setelah Pemilu
ditetapkan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

(2) Alokasi kursi dan daerah pemilihan anggota DPRD provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling sedikit 3 (tiga) dan paling banyak
12 (dua belas).

(3) Dalam hal terjadi pembentukan provinsi baru setelah Pemilu, dilakukan
penataan daerah pemilihan di provinsi induk sesuai dengan jumlah penduduk
berdasarkan alokasi kursi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4) Penataan daerah pemilihan di provinsi induk dan pembentukan daerah
pemilihan di provinsi baru dilakukan untuk Pemilu berikutnya.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai alokasi kursi dan daerah pemilihan anggota
DPRD provinsi ditetapkan dalam peraturan KPU.

Bagian Ketiga
Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPRD Kabupaten/Kota

Pasal 26
(1) Jumlah kursi DPRD kabupaten/kota ditetapkan paling sedikit 20 (dua puluh)
dan paling banyak 50 (lima puluh).
(2) Jumlah kursi DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada jumlah Penduduk kabupaten/kota yang bersangkutan
dengan ketentuan:
a. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk sampai dengan 100.000
(seratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 20 (dua puluh) kursi;
b. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 100.000 (seratus
ribu) sampai dengan 200.000 (dua ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 25
(dua puluh lima) kursi;
c. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 200.000 (dua ratus
ribu) sampai dengan 300.000 (tiga ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi
30 (tiga puluh) kursi;
d. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 300.000 (tiga ratus
ribu) sampai dengan 400.000 (empat ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi
35 (tiga puluh lima) kursi;
e. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 400.000 (empat ratus
ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi
40 (empat puluh) kursi;
f. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus
ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa memperoleh alokasi 45
(empat puluh lima) kursi;
g. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta)
jiwa memperoleh alokasi 50 (lima puluh) kursi.

Pasal 27

(1) Daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota adalah kecamatan atau
gabungan kecamatan.

(2) Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota
ditetapkan sama dengan Pemilu sebelumnya.

(3) Jumlah kursi anggota DPRD kabupaten/kota di kabupaten/kota yang memiliki
jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa berlaku ketentuan
Pasal 26 ayat (2) huruf g.

(4) Penambahan jumlah kursi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2)
huruf g diberikan kepada daerah pemilihan yang memiliki jumlah penduduk
terbanyak secara berurutan.
Pasal 28

(1) Dalam hal terjadi bencana yang mengakibatkan hilangnya daerah pemilihan,
daerah pemilihan tersebut dihapuskan.

(2) Alokasi kursi akibat hilangnya daerah pemilihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diperhitungkan kembali sesuai dengan jumlah Penduduk.

Pasal 29

(1) Jumlah kursi anggota DPRD kabupaten/kota yang dibentuk setelah Pemilu
ditetapkan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

(2) Alokasi kursi dan daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling sedikit 3 (tiga) dan
paling banyak 12 (dua belas).

(3) Dalam hal terjadi pembentukan kabupaten/kota baru setelah Pemilu,
dilakukan penataan daerah pemilihan di kabupaten/kota induk sesuai dengan
jumlah penduduk berdasarkan alokasi kursi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).

(4) Penataan daerah pemilihan di kabupaten/kota induk dan pembentukan
daerah pemilihan di kabupaten/kota baru dilakukan untuk Pemilu berikutnya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai alokasi kursi dan daerah pemilihan anggota
DPRD kabupaten/kota ditetapkan dalam peraturan KPU.

Bagian Keempat
Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPD

Pasal 30

Jumlah kursi anggota DPD untuk setiap provinsi ditetapkan 4 (empat).

Pasal 31

Daerah pemilihan untuk anggota DPD adalah provinsi.

BAB VI
PENYUSUNAN DAFTAR PEMILIH
Bagian Kesatu
Data Kependudukan

Pasal 32

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan data kependudukan.

(2) Data kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah
tersedia dan diserahkan kepada KPU paling lambat 12 (dua belas) bulan
sebelum hari/tanggal pemungutan suara.

Bagian Kedua
Daftar Pemilih

Pasal 33

(1) KPU kabupaten/kota menggunakan data kependudukan sebagai bahan
penyusunan daftar pemilih.

(2) Daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat nomor induk kependudukan, nama, tanggal lahir, jenis kelamin, dan
alamat Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak memilih.

(3) Dalam penyusunan daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
KPU kabupaten/kota dibantu oleh PPS.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan daftar pemilih diatur
dalam peraturan KPU.

Bagian Ketiga
Pemutakhiran Data Pemilih

Pasal 34

(1) KPU kabupaten/kota melakukan pemutakhiran data pemilih berdasarkan data
kependudukan dari Pemerintah dan pemerintah daerah.

(2) Pemutakhiran data pemilih diselesaikan paling lama 3 (tiga) bulan setelah
diterimanya data kependudukan.

(3) Dalam pemutakhiran data pemilih, KPU kabupaten/kota dibantu oleh PPS
dan PPK.

(4) Hasil pemutakhiran data pemilih digunakan sebagai bahan penyusunan
daftar pemilih sementara.

Pasal 35

(1) Dalam pemutakhiran data pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (3), PPS dibantu oleh petugas pemutakhiran data pemilih yang terdiri
atas perangkat desa/kelurahan, rukun warga, rukun tetangga atau sebutan
lain, dan warga masyarakat.

(2) Petugas pemutakhiran data pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diangkat dan diberhentikan oleh PPS.

Bagian Keempat
Penyusunan Daftar Pemilih Sementara

Pasal 36

(1) Daftar pemilih sementara disusun oleh PPS berbasis rukun tetangga atau
sebutan lain.

(2) Daftar pemilih sementara disusun paling lambat 1 (satu) bulan sejak
berakhirnya pemutakhiran data pemilih.

(3) Daftar pemilih sementara diumumkan selama 7 (tujuh) hari oleh PPS untuk
mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat.

(4) Daftar pemilih sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa
salinannya harus diberikan oleh PPS kepada yang mewakili Peserta Pemilu
di tingkat desa/kelurahan sebagai bahan untuk mendapatkan masukan dan
tanggapan.

(5) Masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diterima PPS paling lama 14 (empat
belas) hari sejak hari pertama daftar pemilih sementara diumumkan.

(6) PPS wajib memperbaiki daftar pemilih sementara berdasarkan masukan dan
tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu.

Pasal 37

(1) Daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 ayat (6) diumumkan kembali oleh PPS selama 3 (tiga) hari untuk
mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu.

(2) PPS wajib melakukan perbaikan terhadap daftar pemilih sementara hasil
perbaikan berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan
Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga)
hari setelah berakhirnya pengumuman.

(3) Daftar pemilih sementara hasil perbaikan akhir sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disampaikan oleh PPS kepada KPU kabupaten/kota melalui PPK
untuk menyusun daftar pemilih tetap.

(4) PPS harus memberikan salinan daftar pemilih sementara hasil perbaikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada yang mewakili Peserta Pemilu
di tingkat desa/kelurahan.

Bagian Kelima
Penyusunan Daftar Pemilih Tetap

Pasal 38
(1) KPU kabupaten/kota menetapkan daftar pemilih tetap berdasarkan daftar
pemilih sementara hasil perbaikan dari PPS.

(2) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam
besaran satuan TPS.

(3) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling
lama 20 (dua puluh) hari sejak diterimanya daftar pemilih sementara hasil
perbaikan dari PPS.

(4) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh
KPU kabupaten/kota kepada KPU, KPU provinsi, PPK, dan PPS.

(5) KPU kabupaten/kota harus memberikan salinan daftar pemilih tetap
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Partai Politik Peserta Pemilu di
tingkat kabupaten/kota.

Pasal 39

(1) PPS mengumumkan daftar pemilih tetap sejak diterima dari KPU
kabupaten/kota sampai hari/tanggal pemungutan suara.

(2) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan KPPS
dalam melaksanakan pemungutan suara.

Pasal 40

(1) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dapat
dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan paling lambat 3 (tiga) hari
sebelum hari/tanggal pemungutan suara.

(2) Daftar pemilih tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
data pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap di suatu TPS,
tetapi karena keadaan tertentu tidak dapat menggunakan haknya untuk
memilih di TPS tempat yang bersangkutan terdaftar.

(3) Untuk dapat dimasukkan dalam daftar pemilih tambahan, seseorang harus
menunjukkan bukti identitas diri dan bukti yang bersangkutan telah terdaftar
sebagai pemilih dalam daftar pemilih tetap di TPS asal.


Bagian Keenam
Penyusunan Daftar Pemilih bagi Pemilih di Luar Negeri

Pasal 41

(1) Setiap Kepala Perwakilan Republik Indonesia menyediakan data penduduk
Warga Negara Indonesia dan data penduduk potensial pemilih Pemilu di
negara akreditasinya.

(2) PPLN menggunakan data penduduk potensial pemilih Pemilu untuk
menyusun daftar pemilih di luar negeri.

Pasal 42

(1) PPLN melakukan pemutakhiran data pemilih paling lama 3 (tiga) bulan
setelah diterimanya data penduduk Warga Negara Indonesia dan data
penduduk potensial pemilih Pemilu.

(2) Pemutakhiran data pemilih oleh PPLN dibantu petugas pemutakhiran data
pemilih.

(3) Petugas pemutakhiran data pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
terdiri atas pegawai Perwakilan Republik Indonesia dan warga masyarakat
Indonesia di negara yang bersangkutan.

(4) Petugas pemutakhiran data pemilih diangkat dan diberhentikan oleh PPLN.

Pasal 43

(1) PPLN menyusun daftar pemilih sementara.

(2) Penyusunan daftar pemilih sementara dilaksanakan paling lama 1 (satu)
bulan sejak berakhirnya pemutakhiran data pemilih.

(3) Daftar pemilih sementara diumumkan selama 7 (tujuh) hari oleh PPLN untuk
mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat.

(4) Masukan dan tanggapan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) diterima PPLN paling lama 7 (tujuh) hari sejak diumumkan.

(5) PPLN wajib memperbaiki daftar pemilih sementara berdasarkan masukan
dan tanggapan dari masyarakat.

(6) Daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat

(5) digunakan PPLN untuk bahan penyusunan daftar pemilih tetap.

Pasal 44

(1) PPLN menetapkan daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 ayat (6) menjadi daftar pemilih tetap.

(2) PPLN mengirim daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada KPU dengan tembusan kepada Kepala Perwakilan Republik
Indonesia.

Pasal 45

(1) PPLN menyusun daftar pemilih tetap dengan basis TPSLN berdasarkan
daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1).

(2) Daftar pemilih tetap dengan basis TPSLN digunakan KPPSLN dalam
melaksanakan pemungutan suara.

Pasal 46

(1) Daftar pemilih tetap dengan basis TPSLN sebagaimana dimaksud Pasal 45
ayat (2) dapat dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan sampai
hari/tanggal pemungutan suara.

(2) Daftar pemilih tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
data pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap di suatu TPSLN,
tetapi karena keadaan tertentu tidak dapat menggunakan haknya untuk
memilih di TPSLN tempat yang bersangkutan terdaftar.

Bagian Ketujuh
Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap

Pasal 47

(1) KPU kabupaten/kota melakukan rekapitulasi daftar pemilih tetap di
kabupaten/kota.
(2) KPU provinsi melakukan rekapitulasi daftar pemilih tetap di provinsi.
(3) KPU melakukan rekapitulasi daftar pemilih tetap secara nasional.

Bagian Kedelapan
Pengawasan dan Penyelesaian Perselisihan
dalam Pemutakhiran Data dan Penetapan Daftar Pemilih



Pasal 48

(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu
kecamatan dan Pengawas Pemilu Lapangan melakukan pengawasan atas
pelaksanaan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman
daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih
sementara hasil perbaikan, penetapan dan pengumuman daftar pemilih
tetap, daftar pemilih tambahan, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap yang
dilaksanakan oleh KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK dan PPS.

(2) Pengawas Pemilu Luar Negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan
pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih
sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara hasil
perbaikan, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, daftar pemilih
tambahan, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap luar negeri yang dilaksanakan
oleh PPLN.

Pasal 49

(1) Dalam hal pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 menemukan
unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi, KPU
kabupaten/kota, PPK, PPS dan PPLN yang merugikan Warga Negara
Indonesia yang memiliki hak pilih, maka Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan
Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu
Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri menyampaikan temuan
kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, PPK, PPS dan PPLN.

(2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, PPK, PPS dan PPLN wajib
menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu
kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan
Pengawas Pemilu Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

BAB VII
PENCALONAN ANGGOTA DPR, DPD, DPRD PROVINSI
DAN DPRD KABUPATEN/KOTA
Bagian Kesatu
Persyaratan Bakal Calon Anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota

Pasal 50

(1) Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus
memenuhi persyaratan:
a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun
atau lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah
Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17
Agustus 1945;
g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih;
h. sehat jasmani dan rohani;
i. terdaftar sebagai pemilih;
j. bersedia bekerja penuh waktu;
k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara
Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,
pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik
daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan
negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri dan yang tidak
dapat ditarik kembali;
l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik,
advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan
tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan
dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan
konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota
DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai peraturan
perundang-undangan;
m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara lainnya,
pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah,
serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
n. menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu;
o. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; dan
p. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.

(2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan
dengan:
a. kartu tanda Penduduk Warga Negara Indonesia.
b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau
surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau
program pendidikan menengah.
c. surat keterangan tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara
Republik Indonesia setempat;
d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani;
e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;
f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang
ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan
publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT),
dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang
berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat
menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak
sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang
ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai
negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara
dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada badan lain yang
anggarannya bersumber dari keuangan negara;
i. kartu tanda anggota Partai Politik Peserta Pemilu;
j. surat penyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan oleh 1 (satu) partai
politik untuk 1 (satu) lembaga perwakilan yang ditandatangani di atas
kertas bermeterai cukup;
k. surat penyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan oleh 1 (satu)
daerah pemilihan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup.

Bagian Kedua
Tata Cara Pengajuan Bakal Calon Anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota

Pasal 51

(1) Partai Politik Peserta Pemilu melakukan seleksi bakal calon anggota DPR,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

(2) Seleksi bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik.

Pasal 52

(1) Bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 disusun dalam daftar
bakal calon oleh partai politik masing-masing.
(2) Daftar bakal calon anggota DPR ditetapkan oleh pengurus Partai Politik
Peserta Pemilu tingkat pusat.
(3) Daftar bakal calon anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh pengurus Partai
Politik Peserta Pemilu tingkat provinsi.
(4) Daftar bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh pengurus
Partai Politik Peserta Pemilu tingkat kabupaten/kota.

Pasal 53

Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

Pasal 54

Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling banyak 120% (seratus dua puluh perseratus) jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan.

Pasal 55
(1) Nama-nama calon dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 54 disusun berdasarkan nomor urut.

(2) Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam
setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang
perempuan bakal calon.

(3) Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan
pas foto diri terbaru.

Pasal 56

Daftar bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 diajukan kepada:
a. KPU untuk daftar bakal calon anggota DPR yang ditandatangani oleh ketua
umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lain;
b. KPU provinsi untuk daftar bakal calon anggota DPRD provinsi yang
ditandatangani oleh ketua dan sekretaris atau sebutan lain;
c. KPU kabupaten/kota untuk daftar bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota
yang ditandatangani oleh ketua dan sekretaris atau sebutan lain.

Bagian Ketiga
Verifikasi Kelengkapan Administrasi
Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota

Pasal 57

(1) KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen
persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR dan verifikasi terhadap
terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus)
keterwakilan perempuan.

(2) KPU provinsi melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran
dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD provinsi dan
verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh
perseratus) keterwakilan perempuan.
(3) KPU kabupaten/kota melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan
kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD
kabupaten/kota dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurangkurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

Pasal 58

(1) Dalam hal kelengkapan dokumen persyaratan administrasi bakal calon
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 tidak terpenuhi, KPU, KPU provinsi,
dan KPU kabupaten/kota mengembalikan dokumen persyaratan administrasi
bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
kepada Partai Politik Peserta Pemilu.

(2) Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga
puluh perseratus) keterwakilan perempuan, KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk
memperbaiki daftar calon tersebut.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses verifikasi bakal calon anggota DPR,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diatur dengan peraturan KPU.



Pasal 59

(1) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota meminta kepada partai politik
untuk mengajukan bakal calon baru anggota DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota sebagai pengganti bakal calon yang terbukti
memalsukan atau menggunakan dokumen palsu.

(2) Partai Politik Peserta Pemilu yang bersangkutan tidak dapat mengajukan
bakal calon pengganti apabila putusan pengadilan telah mempunyai
kekuatan hukum tetap membuktikan terjadinya pemalsuan atau penggunaan
dokumen palsu tersebut dikeluarkan setelah ditetapkannya daftar calon tetap
oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

(3) Partai politik mengajukan nama bakal calon baru sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling lama 7 (tujuh) hari sejak surat permintaan dari KPU,
KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota diterima oleh partai politik.

(4) KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten kota melakukan verifikasi terhadap
kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon
anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).

Bagian Keempat
Pengawasan atas Verifikasi Kelengkapan Administrasi
Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota

Pasal 60

(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, melakukan
pengawasan atas pelaksanaan verifikasi kelengkapan administrasi bakal
calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang
dilakukan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

(2) Dalam hal pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menemukan
unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota sehingga merugikan bakal calon anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, maka Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan
Panwaslu kabupaten/kota menyampaikan temuan kepada KPU, KPU
provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

(3) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti temuan
Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).

Bagian Kelima
Penyusunan Daftar Calon Sementara Anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPR Kabupaten/Kota

Pasal 61

(1) Bakal calon yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57
disusun dalam daftar calon sementara oleh:
a. KPU untuk daftar calon sementara anggota DPR.
b. KPU provinsi untuk daftar calon sementara anggota DPRD provinsi.
c. KPU kabupaten/kota untuk daftar calon sementara anggota DPRD
kabupaten/kota.

(2) Daftar calon sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani
oleh ketua dan anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

(3) Daftar calon sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun
berdasarkan nomor urut dan dilengkapi dengan pas foto diri terbaru.

(4) Daftar calon sementara anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh KPU,
KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sekurang-kurangnya pada 1 (satu)
media massa cetak harian dan media massa elektronik nasional dan 1 (satu)
media massa cetak harian dan media massa elektronik daerah serta sarana
pengumuman lainnya selama 5 (lima) hari.

(5) Masukan dan tanggapan dari masyarakat disampaikan kepada KPU, KPU
provinsi, atau KPU kabupaten/kota paling lama 10 (sepuluh) hari sejak daftar
calon sementara diumumkan.

(6) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan persentase
keterwakilan perempuan dalam daftar calon sementara partai politik masingmasing pada media massa cetak harian nasional dan media massa
elektronik nasional.

Pasal 62

(1) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota meminta klarifikasi kepada
partai politik atas masukan dan tanggapan dari masyarakat.

(2) Pimpinan partai politik harus memberikan kesempatan kepada calon yang
bersangkutan untuk mengklarifikasi masukan dan tanggapan dari
masyarakat.

(3) Pimpinan partai politik menyampaikan hasil klarifikasi secara tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota.

(4) Dalam hal hasil klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyatakan
bahwa calon sementara tersebut tidak memenuhi syarat, KPU, KPU provinsi,
dan KPU kabupaten/kota memberitahukan dan memberikan kesempatan
kepada partai politik untuk mengajukan pengganti calon dan daftar calon
sementara hasil perbaikan.

(5) Pengajuan pengganti calon dan daftar calon sementara hasil perbaikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 7 (tujuh) hari setelah surat
pemberitahuan dari KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota diterima
oleh partai politik.

(6) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota melakukan verifikasi terhadap
kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi pengganti
calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

(7) Dalam hal partai politik tidak mengajukan pengganti calon dan daftar calon
sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dengan
sendirinya urutan nama dalam daftar calon sementara diubah oleh KPU,
KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sesuai dengan urutan berikutnya.

Pasal 63

Dalam hal ditemukan dugaan telah terjadi pemalsuan dokumen atau penggunaan dokumen palsu dalam persyaratan administrasi bakal calon dan/atau calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, maka KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk dilakukan proses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 64

Dalam hal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang
menyatakan tidak terbukti adanya pemalsuan dokumen atau penggunaan
dokumen palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dibacakan setelah KPU,
KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota menetapkan daftar calon tetap anggota
DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, putusan tersebut tidak
memengaruhi daftar calon tetap.

Bagian Keenam
Penetapan dan Pengumuman Daftar
Calon Tetap Anggota DPR dan DPRD

Pasal 65
(1) KPU menetapkan daftar calon tetap anggota DPR.

(2) KPU provinsi menetapkan daftar calon tetap anggota DPRD provinsi.

(3) KPU kabupaten/kota menetapkan daftar calon tetap anggota DPRD
kabupaten/kota.

(4) Daftar calon tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat

(3) disusun berdasarkan nomor urut dan dilengkapi dengan pas foto diri
terbaru.

Pasal 66

(1) Daftar calon tetap anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 diumumkan oleh KPU, KPU
provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

(2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan persentase
keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik masingmasing
pada media massa cetak harian nasional dan media massa
elektronik nasional.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis pencalonan anggota DPR,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU.

Bagian Ketujuh
Tata Cara Pendaftaran Bakal Calon Anggota DPD


Pasal 67

(1) Perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 dan Pasal 13 dapat mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota
DPD kepada KPU melalui KPU provinsi.
(2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibuktikan dengan:
a. kartu tanda penduduk Warga Negara Indonesia;
b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau
surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau
program pendidikan menengah;
c. surat keterangan tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara
Republik Indonesia setempat;
d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani;
e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;
f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang
ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan
publik, advokat/pengacara, notaris, dan pekerjaan penyedia barang dan
jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain
yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang,
dan hak sebagai anggota DPD yang ditandatangani di atas kertas
bermeterai cukup;
h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai
negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara
dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada badan lain yang
anggarannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara
dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan
i. surat penyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan untuk 1 (satu)
lembaga perwakilan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup.

Bagian Kedelapan
Verifikasi Kelengkapan Administrasi
Bakal Calon Anggota DPD

Pasal 68
(1) KPU melakukan verifikasi kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan
bakal calon anggota DPD.

(2) KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota membantu pelaksanaan verifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 69

(1) Persyaratan dukungan minimal pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (1) dibuktikan dengan daftar dukungan yang dibubuhi tanda tangan
atau cap jempol dan dilengkapi fotokopi kartu tanda Penduduk setiap
pendukung.

(2) Seorang pemilih tidak dibolehkan memberikan dukungan kepada lebih dari 1
(satu) orang bakal calon anggota DPD.

(3) Dalam hal ditemukan bukti adanya data palsu atau data yang sengaja
digandakan oleh bakal calon anggota DPD terkait dengan dokumen
persyaratan dukungan minimal pemilih, bakal calon anggota DPD dikenai
pengurangan jumlah dukungan minimal pemilih sebanyak 50 (lima puluh) kali
temuan bukti data palsu atau data yang digandakan.

Bagian Kesembilan
Pengawasan atas Verifikasi Kelengkapan Administrasi Calon Anggota DPD

Pasal 70

(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota melakukan
pengawasan atas pelaksanaan verifikasi kelengkapan persyaratan
administrasi bakal calon anggota DPD yang dilakukan oleh KPU, KPU
provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

(2) Dalam hal pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menemukan
unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota sehingga merugikan bakal calon anggota DPD, maka
Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota menyampaikan
temuan kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

(3) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti temuan
Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).

Bagian Kesepuluh
Penetapan Daftar Calon Sementara Anggota DPD

Pasal 71
(1) KPU menetapkan daftar calon sementara anggota DPD.

(2) Daftar calon sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani
oleh ketua dan anggota KPU.

(3) Daftar calon sementara anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diumumkan oleh KPU sekurang-kurangnya pada 1 (satu) media massa cetak
harian dan media massa elektronik nasional dan 1 (satu) media massa cetak
harian dan media massa elektronik daerah serta sarana pengumuman
lainnya untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat

(4) Masukan dan tanggapan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) disampaikan kepada KPU paling lama 10 (sepuluh) hari sejak daftar
calon sementara diumumkan.

Pasal 72

(1) Masukan dan tanggapan dari masyarakat untuk perbaikan daftar calon
sementara anggota DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3)
disampaikan secara tertulis kepada KPU dengan disertai bukti identitas diri.

(2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meminta klarifikasi kepada bakal calon anggota DPD atas masukan
dan tanggapan dari masyarakat.

Pasal 73

Dalam hal ditemukan dugaan telah terjadi pemalsuan dokumen atau penggunaan dokumen palsu dalam persyaratan administrasi bakal calon dan/atau calon anggota DPD, maka KPU dan KPU provinsi berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk dilakukan proses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 74

Dalam hal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang
menyatakan tidak terbukti adanya pemalsuan dokumen atau penggunaan
dokumen palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dibacakan setelah KPU,
KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota menetapkan daftar calon tetap anggota
DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, putusan tersebut tidak
memengaruhi daftar calon tetap.

Bagian Kesebelas
Penetapan dan Pengumuman Daftar Calon Tetap Anggota DPD

Pasal 75

(1) Daftar calon tetap anggota DPD ditetapkan oleh KPU.

(2) Daftar calon tetap anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun berdasarkan abjad dan dilengkapi dengan pas foto diri terbaru.

(3) Daftar calon tetap anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diumumkan oleh KPU.








(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis pencalonan anggota DPD
ditetapkan oleh KPU.
BAB VIII
KAMPANYE
Bagian Kesatu
Kampanye Pemilu

Pasal 76

Kampanye Pemilu dilakukan dengan prinsip bertanggung jawab dan merupakan
bagian dari pendidikan politik masyarakat.

Pasal 77

(1) Kampanye Pemilu dilaksanakan oleh pelaksana kampanye.

(2) Kampanye Pemilu diikuti oleh peserta kampanye.

(3) Kampanye Pemilu didukung oleh petugas kampanye.

Pasal 78

(1) Pelaksana kampanye Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
Kabupaten/kota terdiri atas pengurus partai politik, calon anggota DPR,
DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, juru kampanye, orang-seorang, dan
organisasi yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota.

(2) Pelaksana kampanye Pemilu anggota DPD terdiri atas calon anggota DPD,
orang-seorang, dan organisasi yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu anggota
DPD.

(3) Peserta kampanye terdiri atas anggota masyarakat.

(4) Petugas kampanye terdiri atas seluruh petugas yang memfasilitasi
pelaksanaan kampanye.
Pasal 79

(1) Pelaksana kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 harus
didaftarkan pada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
(2) Pendaftaran pelaksana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditembuskan kepada Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu
kabupaten/kota.

Bagian Kedua
Materi Kampanye

Pasal 80

(1) Materi kampanye Partai Politik Peserta Pemilu yang dilaksanakan oleh calon
anggota DPR, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota
meliputi visi, misi, dan program partai politik.

(2) Materi kampanye Perseorangan Peserta Pemilu yang dilaksanakan oleh
calon anggota DPD meliputi visi, misi, dan program yang bersangkutan.

Bagian Ketiga
Metode Kampanye

Pasal 81

Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dapat dilakukan
melalui:
a. pertemuan terbatas;
b. pertemuan tatap muka;
c. media massa cetak dan media massa elektronik;
d. penyebaran bahan kampanye kepada umum;
e. pemasangan alat peraga di tempat umum;
f. rapat umum; dan
g. kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 82

(1) Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf a sampai
dengan huruf e dilaksanakan sejak 3 (tiga) hari setelah calon Peserta Pemilu
ditetapkan sebagai Peserta Pemilu sampai dengan dimulainya masa tenang.

(2) Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf f
dilaksanakan selama 21 (dua puluh satu) hari dan berakhir sampai dengan
dimulainya masa tenang.

(3) Masa tenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlangsung
selama 3 (tiga) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara.

Pasal 83

(1) Ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan kampanye Pemilu secara
nasional diatur dengan peraturan KPU.
(2) Waktu, tanggal, dan tempat pelaksanaan kampanye Pemilu anggota DPR
dan DPD ditetapkan dengan keputusan KPU setelah KPU berkoordinasi
dengan Peserta Pemilu.
(3) Waktu, tanggal, dan tempat pelaksanaan kampanye Pemilu anggota DPRD
provinsi ditetapkan dengan keputusan KPU provinsi setelah KPU provinsi
berkoordinasi dengan Peserta Pemilu.

(4) Waktu, tanggal, dan tempat pelaksanaan kampanye Pemilu anggota DPRD
kabupaten/kota ditetapkan dengan keputusan KPU kabupaten/kota setelah
KPU kabupaten/kota berkoordinasi dengan Peserta Pemilu.


Bagian Keempat
Larangan dalam Kampanye

Pasal 84

(1) Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang:
a. mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
c. menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau
Peserta Pemilu yang lain;
d. menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat;
e. mengganggu ketertiban umum;
f. mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan
penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota
masyarakat, dan/atau Peserta Pemilu yang lain;
g. merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye Peserta Pemilu;
h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat
pendidikan;
i. membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut lain selain
dari tanda gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan;
dan
j. menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta
kampanye.

(2) Pelaksana kampanye dalam kegiatan kampanye dilarang mengikutsertakan:
a. Ketua, Wakil Ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung,
dan hakim pada semua badan peradilan di bawahnya, dan hakim
konstitusi pada Mahkamah Konstitusi;
b. Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
c. Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur Bank Indonesia;
d. pejabat BUMN/BUMD;
e. pegawai negeri sipil;
f. anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
g. kepala desa;
h. perangkat desa;
i. anggota badan permusyaratan desa; dan
j. Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih.

(3) Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan
huruf i dilarang ikut serta sebagai pelaksana kampanye.

(4) Sebagai peserta kampanye, pegawai negeri sipil dilarang menggunakan
atribut partai atau atribut pegawai negeri sipil.

(5) Sebagai peserta kampanye, pegawai negeri sipil dilarang mengerahkan
pegawai negeri sipil di lingkungan kerjanya dan dilarang menggunakan
fasilitas negara.

(6) Pelanggaran terhadap larangan ketentuan pada ayat (1) huruf c, huruf f,
huruf g, huruf i, dan huruf j, ayat (2), dan ayat (5) merupakan tindak pidana
Pemilu.

Pasal 85

(1) Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden,
menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil
walikota harus memenuhi ketentuan:
a. tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya, kecuali
fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan; dan
b. menjalani cuti di luar tanggungan negara.

(2) Cuti dan jadwal cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilaksanakan dengan memperhatikan keberlangsungan tugas
penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai keikutsertaan pejabat negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan KPU.

Bagian Kelima
Sanksi atas Pelanggaran Larangan Kampanye

Pasal 86

(1) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup atas adanya pelanggaran
larangan kampanye oleh pelaksana dan peserta kampanye, maka KPU, KPU
provinsi, dan KPU kabupaten/kota menjatuhkan denda kepada pelaksana
dan peserta kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) dan
ayat (3).

(2) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan ke kas negara.

Pasal 87

Dalam hal terbukti pelaksana kampanye menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung
ataupun tidak langsung agar:
a. tidak menggunakan hak pilihnya;
b. menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu dengan cara
tertentu sehingga surat suaranya tidak sah;
c. memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu;
d. memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota tertentu;
atau
e. memilih calon anggota DPD tertentu,
dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 88

Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap
pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 yang dikenai kepada
pelaksana kampanye yang berstatus sebagai calon anggota DPR, DPRD provinsi,

DPRD kabupaten/kota, dan DPD digunakan sebagai dasar KPU, KPU provinsi,
dan KPU kabupaten/kota untuk mengambil tindakan berupa:
a. pembatalan nama calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota dari daftar calon tetap; atau
b. pembatalan penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota sebagai calon terpilih.

Bagian Keenam
Pemberitaan, Penyiaran, dan Iklan Kampanye
Paragraf 1
Umum

Pasal 89

(1) Pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye dapat dilakukan melalui media
massa cetak dan lembaga penyiaran sesuai dengan peraturan perundangundangan.

(2) Pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan dalam rangka penyampaian pesan kampanye Pemilu
oleh Peserta Pemilu kepada masyarakat.

(3) Pesan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa
tulisan, suara, gambar, tulisan dan gambar, atau suara dan gambar, yang
bersifat naratif, grafis, karakter, interaktif atau tidak interaktif, serta yang
dapat diterima melalui perangkat penerima pesan.

(4) Media massa cetak dan lembaga penyiaran dalam memberitakan,
menyiarkan, dan mengiklankan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus mematuhi larangan dalam kampanye sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 84.

(5) Media massa cetak dan lembaga penyiaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) selama masa tenang dilarang menyiarkan berita, iklan, rekam jejak
Peserta Pemilu, atau bentuk lainnya yang mengarah kepada kepentingan
kampanye yang menguntungkan atau merugikan Peserta Pemilu.

Pasal 90

(1) Lembaga penyiaran publik Televisi Republik Indonesia (TVRI), lembaga
penyiaran publik Radio Republik Indonesia (RRI), lembaga penyiaran publik
lokal, lembaga penyiaran swasta, dan lembaga penyiaran berlangganan
memberikan alokasi waktu yang sama dan memperlakukan secara
berimbang Peserta Pemilu untuk menyampaikan materi kampanye.

(2) Lembaga penyiaran komunitas dapat menyiarkan proses Pemilu sebagai
bentuk layanan kepada masyarakat, tetapi tidak boleh dimanfaatkan untuk
kepentingan kampanye bagi Peserta Pemilu.

(3) Televisi Republik Indonesia dan Radio Republik Indonesia menetapkan
standar biaya dan persyaratan iklan kampanye yang sama kepada Peserta
Pemilu.

Paragraf 2
Pemberitaan Kampanye

Pasal 91

(1) Pemberitaan kampanye dilakukan oleh lembaga penyiaran dengan cara
siaran langsung atau siaran tunda dan oleh media massa cetak.

(2) Media massa cetak dan lembaga penyiaran yang menyediakan rubrik khusus
untuk pemberitaan kampanye harus berlaku adil dan berimbang kepada
seluruh Peserta Pemilu.

Paragraf 3
Penyiaran Kampanye

Pasal 92
(1) Penyiaran kampanye dilakukan oleh lembaga penyiaran dalam bentuk siaran
monolog, dialog yang melibatkan suara dan/atau gambar pemirsa atau suara
pendengar, debat Peserta Pemilu, serta jajak pendapat.

(2) Pemilihan narasumber, tema dan moderator, serta tata cara
penyelenggaraan siaran monolog, dialog, dan debat diatur oleh lembaga
penyiaran.

(3) Narasumber penyiaran monolog, dialog, dan debat harus mematuhi larangan
dalam kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84.

(4) Siaran monolog, dialog, dan debat yang diselenggarakan oleh lembaga
penyiaran dapat melibatkan masyarakat melalui telepon, layanan pesan
singkat, surat elektronik (e-mail), dan/atau faksimile.

Paragraf 4
Iklan Kampanye

Pasal 93

(1) Iklan kampanye Pemilu dapat dilakukan oleh Peserta Pemilu pada media
massa cetak dan/atau lembaga penyiaran dalam bentuk iklan komersial
dan/atau iklan layanan masyarakat.

(2) Iklan kampanye Pemilu dilarang berisikan hal yang dapat mengganggu
kenyamanan pembaca, pendengar, dan/atau pemirsa.

(3) Media massa cetak dan lembaga penyiaran wajib memberikan kesempatan
yang sama kepada Peserta Pemilu dalam pemuatan dan penayangan iklan
kampanye.

(4) Pengaturan dan penjadwalan pemuatan dan penayangan iklan kampanye
Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh media
massa cetak dan lembaga penyiaran.

Pasal 94

(1) Media massa cetak dan lembaga penyiaran dilarang menjual blocking
segment atau blocking time untuk kampanye Pemilu.

(2) Media massa cetak dan lembaga penyiaran dilarang menerima program
sponsor dalam format atau segmen apa pun yang dapat dikategorikan
sebagai iklan kampanye Pemilu.

(3) Media massa cetak, lembaga penyiaran, dan Peserta Pemilu dilarang
menjual spot iklan yang tidak dimanfaatkan oleh salah satu Peserta Pemilu
kepada Peserta Pemilu yang lain.
Pasal 95

(1) Batas maksimum pemasangan iklan kampanye Pemilu di televisi untuk
setiap Peserta Pemilu secara kumulatif sebanyak 10 (sepuluh) spot
berdurasi paling lama 30 (tiga puluh) detik untuk setiap stasiun televisi setiap
hari selama masa kampanye.

(2) Batas maksimum pemasangan iklan kampanye Pemilu di radio untuk setiap
Peserta Pemilu secara kumulatif sebanyak 10 (sepuluh) spot berdurasi
paling lama 60 (enam puluh) detik untuk setiap stasiun radio setiap hari
selama masa kampanye.

(3) Batas maksimum pemasangan iklan kampanye Pemilu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah untuk semua jenis iklan.

(4) Pengaturan dan penjadwalan pemasangan iklan kampanye Pemilu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk setiap Peserta Pemilu diatur
sepenuhnya oleh lembaga penyiaran dengan kewajiban memberikan
kesempatan yang sama kepada setiap Peserta Pemilu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3).

Pasal 96

(1) Media massa cetak dan lembaga penyiaran melakukan iklan kampanye
Pemilu dalam bentuk iklan kampanye Pemilu komersial atau iklan kampanye
Pemilu layanan masyarakat dengan mematuhi kode etik periklanan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Media massa cetak dan lembaga penyiaran wajib menentukan standar tarif
iklan kampanye Pemilu komersial yang berlaku sama untuk setiap Peserta
Pemilu.

(3) Tarif iklan kampanye Pemilu layanan masyarakat harus lebih rendah
daripada tarif iklan kampanye Pemilu komersial.

(4) Media massa cetak dan lembaga penyiaran wajib menyiarkan iklan
kampanye Pemilu layanan masyarakat non-partisan paling sedikit satu kali
dalam sehari dengan durasi 60 detik.

(5) Iklan kampanye Pemilu layanan masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dapat diproduksi sendiri oleh media massa cetak dan lembaga
penyiaran atau dibuat oleh pihak lain.

(6) Penetapan dan penyiaran iklan kampanye Pemilu layanan masyarakat yang
diproduksi oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan
oleh media massa cetak dan lembaga penyiaran.

(7) Jumlah waktu tayang iklan kampanye Pemilu layanan masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak termasuk jumlah kumulatif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).

Pasal 97

Media massa cetak menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang
untuk pemuatan berita dan wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye
bagi Peserta Pemilu.

Pasal 98

(1) Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers melakukan pengawasan atas
pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye Pemilu yang dilakukan oleh
lembaga penyiaran atau oleh media massa cetak.

(2) Dalam hal terdapat bukti pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Komisi Penyiaran Indonesia
atau Dewan Pers menjatuhkan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini.

(3) Penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan
kepada KPU dan KPU provinsi.

(4) Dalam hal Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers tidak menjatuhkan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu 7 (tujuh)
hari sejak ditemukan bukti pelanggaran kampanye, KPU, KPU provinsi, dan
KPU kabupaten/kota menjatuhkan sanksi kepada pelaksana kampanye.

Pasal 99
(1) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dapat berupa:
a. teguran tertulis;
b. penghentian sementara mata acara yang bermasalah;
c. pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran, dan iklan
kampanye Pemilu;
d. denda;
e. pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye
Pemilu untuk waktu tertentu; atau
f. pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin
penerbitan media massa cetak.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pemberian sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Komisi Penyiaran
Indonesia atau Dewan Pers bersama KPU.

Pasal 100

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberitaan, penyiaran, iklan kampanye, dan
pemberian sanksi diatur dengan peraturan KPU.

Bagian Ketujuh
Pemasangan Alat Peraga Kampanye

Pasal 101

(1) KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN
berkoordinasi dengan pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan, dan kantor perwakilan Republik
Indonesia untuk menetapkan lokasi pemasangan alat peraga untuk
keperluan kampanye Pemilu.

(2) Pemasangan alat peraga kampanye Pemilu oleh pelaksana kampanye
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau
kawasan setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Pemasangan alat peraga kampanye Pemilu pada tempat-tempat yang
menjadi milik perseorangan atau badan swasta harus dengan izin pemilik
tempat tersebut.

(4) Alat peraga kampanye Pemilu harus sudah dibersihkan oleh Peserta Pemilu
paling lambat 1 (satu) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasangan dan pembersihan alat peraga
kampanye diatur dalam peraturan KPU.

Bagian Kedelapan
Peranan Pemerintah, Tentara Nasional Indonesia, dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Kampanye

Pasal 102

(1) Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota,
kecamatan, dan desa/kelurahan memberikan kesempatan yang sama
kepada pelaksana kampanye dalam penggunaan fasilitas umum untuk
penyampaian materi kampanye.

(2) Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, kecamatan,
desa/kelurahan, Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia dilarang melakukan tindakan yang menguntungkan atau
merugikan salah satu pelaksana kampanye.

Bagian Kesembilan
Pengawasan atas Pelaksanaan Kampanye Pemilu
Pasal 103

Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan,
Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri melakukan
pengawasan atas pelaksanaan kampanye Pemilu.

Pasal 104

(1) Pengawas Pemilu Lapangan melakukan pengawasan atas pelaksanaan
kampanye di tingkat desa/kelurahan.

(2) Pengawas Pemilu Lapangan menerima laporan dugaan adanya pelanggaran
pelaksanaan kampanye di tingkat desa/kelurahan yang dilakukan oleh PPS,
pelaksana kampanye, peserta kampanye, dan petugas kampanye.

Pasal 105

(1) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa PPS dengan sengaja
melakukan atau lalai dalam pelaksanaan kampanye yang mengakibatkan
terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu di tingkat desa/kelurahan,
Pengawas Pemilu Lapangan menyampaikan laporan kepada Panwaslu
kecamatan.

(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa pelaksana
kampanye, peserta kampanye, atau petugas kampanye dengan sengaja
melakukan atau lalai dalam pelaksanaan kampanye yang mengakibatkan
terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu di tingkat desa/kelurahan,
Pengawas Pemilu Lapangan menyampaikan laporan kepada PPS.


Pasal 106

(1) PPS wajib menindaklanjuti temuan dan laporan tentang dugaan kesengajaan
atau kelalaian dalam pelaksanaan kampanye di tingkat desa/kelurahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2) dengan melakukan:
a. penghentian pelaksanaan kampanye Peserta Pemilu yang bersangkutan
yang terjadwal pada hari itu;
b. pelaporan kepada PPK dalam hal ditemukan bukti permulaan yang cukup
tentang adanya tindak pidana Pemilu terkait dengan pelaksanaan
kampanye;
c. pelarangan kepada pelaksana kampanye untuk melaksanakan kampanye
berikutnya; dan
d. pelarangan kepada peserta kampanye untuk mengikuti kampanye
berikutnya.

(2) PPK menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dengan melakukan tindakan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini.

Pasal 107

Dalam hal ditemukan dugaan bahwa pelaksana kampanye, peserta kampanye,
dan petugas kampanye dengan sengaja atau lalai yang mengakibatkan
terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu di tingkat desa/kelurahan dikenai tindakan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 108

(1) Panwaslu kecamatan wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 105 ayat (1) dengan melaporkan kepada PPK.

(2) PPK wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dengan meneruskan kepada KPU kabupaten/kota.

(3) KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dengan memberikan sanksi administratif kepada PPS.

Pasal 109

(1) Panwaslu kecamatan melakukan pengawasan atas pelaksanaan kampanye
di tingkat kecamatan.

(2) Panwaslu kecamatan menerima laporan dugaan pelanggaran pelaksanaan
kampanye di tingkat kecamatan yang dilakukan oleh PPK, pelaksana
kampanye, peserta kampanye, dan petugas kampanye.

Pasal 110

(1) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa PPK melakukan
kesengajaan atau kelalaian dalam pelaksanaan kampanye yang
mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu di tingkat
kecamatan, Panwaslu kecamatan menyampaikan laporan kepada Panwaslu
kabupaten/kota.

(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa pelaksana
kampanye, peserta kampanye atau petugas kampanye melakukan
kesengajaan atau kelalaian dalam pelaksanaan kampanye yang
mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu di tingkat
kecamatan, Panwaslu kecamatan menyampaikan laporan kepada Panwaslu
kabupaten/kota dan menyampaikan temuan kepada PPK.

Pasal 111

(1) PPK wajib menindaklanjuti temuan dan laporan tentang dugaan kesengajaan
atau kelalaian dalam pelaksanaan kampanye di tingkat kecamatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2) dengan melakukan:
a. penghentian pelaksanaan kampanye Peserta Pemilu yang bersangkutan
yang terjadwal pada hari itu;
b. pelaporan kepada KPU kabupaten/kota dalam hal ditemukan bukti
permulaan yang cukup adanya tindak pidana Pemilu terkait dengan
pelaksanaan kampanye;
c. pelarangan kepada pelaksana kampanye untuk melaksanakan kampanye
berikutnya; dan/atau
d. pelarangan kepada peserta kampanye untuk mengikuti kampanye
berikutnya.

(2) KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dengan melakukan tindakan hukum sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 112

(1) Panwaslu kabupaten/kota wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) dengan melaporkan kepada KPU
kabupaten/kota.

(2) KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan memberikan sanksi administratif kepada PPK.

Pasal 113

(1) Panwaslu kabupaten/kota melakukan pengawasan pelaksanaan kampanye
di tingkat kabupaten/kota, terhadap:
a. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian anggota KPU
kabupaten/kota, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota
melakukan tindak pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang
mengakibatkan terganggunya kampanye yang sedang berlangsung; atau
b. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian pelaksana kampanye,
peserta kampanye dan petugas kampanye melakukan tindak pidana
Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya
kampanye yang sedang berlangsung.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Panwaslu kabupaten/kota:
a. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap ketentuan pelaksanaan
kampanye Pemilu;
b. menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran kampanye Pemilu yang
tidak mengandung unsur pidana;
c. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU kabupaten/kota tentang
pelanggaran kampanye Pemilu untuk ditindaklanjuti;
d. meneruskan temuan dan laporan tentang pelanggaran tindak pidana
Pemilu kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia;
e. menyampaikan laporan dugaan adanya tindakan yang mengakibatkan
terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu oleh anggota KPU
kabupaten/kota, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota
kepada Bawaslu; dan/atau
f. mengawasi pelaksanaan rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan
sanksi kepada anggota KPU kabupaten/kota, sekretaris dan pegawai
sekretariat KPU kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindakan yang
mengakibatkan terganggunya kampanye yang sedang berlangsung.

Pasal 114

(1) Panwaslu kabupaten/kota menyelesaikan laporan dugaan pelanggaran
administratif terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (2) huruf a, pada hari yang
sama dengan diterimanya laporan.

(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran
administratif oleh pelaksana dan peserta kampanye di tingkat
kabupaten/kota, Panwaslu kabupaten/kota menyampaikan temuan dan
laporan tersebut kepada KPU kabupaten/kota.

(3) KPU kabupaten/kota menetapkan penyelesaian laporan dan temuan yang
mengandung bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran administratif
oleh pelaksana dan peserta kampanye pada hari diterimanya laporan.

(4) Dalam hal Panwaslu kabupaten/kota menerima laporan dugaan pelanggaran
administratif terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu oleh
anggota KPU kabupaten/kota, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU
kabupaten/kota, Panwaslu kabupaten/kota meneruskan laporan tersebut
kepada Bawaslu.

Pasal 115

(1) KPU bersama Bawaslu dapat menetapkan sanksi tambahan terhadap
pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3)
selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.

(2) Sanksi terhadap pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 114 ayat (4) selain yang diatur dalam Undang-Undang ini, ditetapkan
dalam kode etik yang disusun secara bersama oleh KPU dan Bawaslu
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 116

Dalam hal Panwaslu kabupaten/kota menerima laporan dugaan adanya tindak
pidana dalam pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU kabupaten/kota,
sekretaris dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota, pelaksana dan peserta
kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113, Panwaslu kabupaten/kota
melakukan:
a. pelaporan tentang dugaan adanya tindak pidana Pemilu dimaksud kepada
Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau
b. pelaporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi
Bawaslu tentang sanksi.


Pasal 117

Panwaslu kabupaten/kota melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tindak
lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 116.

Pasal 118

(1) Panwaslu provinsi melakukan pengawasan pelaksanaan kampanye di tingkat
provinsi, terhadap:
a. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian anggota KPU provinsi,
sekretaris dan pegawai sekretariat KPU provinsi melakukan tindak pidana
Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya
kampanye yang sedang berlangsung; atau
b. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian pelaksana kampanye,
peserta kampanye dan petugas kampanye melakukan tindak pidana
Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya
kampanye yang sedang berlangsung.

(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Panwaslu provinsi:
a. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap ketentuan pelaksanaan
kampanye Pemilu;
b. menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran kampanye Pemilu yang
tidak mengandung unsur pidana;
c. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU provinsi tentang
pelanggaran kampanye Pemilu untuk ditindaklanjuti;
d. meneruskan temuan dan laporan tentang pelanggaran tindak pidana
Pemilu kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia;
e. menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk
mengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan dugaan
adanya tindak pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang
mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan kampanye
Pemilu oleh anggota KPU provinsi, sekretaris dan pegawai sekretariat
KPU provinsi; dan/atau
f. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang
pengenaan sanksi kepada anggota KPU provinsi, sekretaris dan pegawai
sekretariat KPU provinsi yang terbukti melakukan tindak pidana Pemilu
atau administratif yang mengakibatkan terganggunya kampanye yang
sedang berlangsung.

Pasal 119

(1) Panwaslu provinsi menyelesaikan laporan dugaan pelanggaran administratif
terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 118 ayat (2) huruf a pada hari yang sama dengan diterimanya
laporan.

(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran
administratif oleh pelaksana dan peserta kampanye di tingkat provinsi,
Panwaslu provinsi menyampaikan temuan dan laporan tersebut kepada KPU
provinsi.

(3) KPU provinsi menetapkan penyelesaian laporan dan temuan yang
mengandung bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran administratif
oleh pelaksana dan peserta kampanye pada hari diterimanya laporan.

(4) Dalam hal Panwaslu provinsi menerima laporan dugaan pelanggaran
administratif terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu oleh
anggota KPU provinsi, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU provinsi,
Panwaslu provinsi meneruskan laporan tersebut kepada Bawaslu.

Pasal 121

Dalam hal Panwaslu provinsi menerima laporan dugaan adanya tindak pidana
dalam pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU provinsi, sekretaris dan
pegawai sekretariat KPU provinsi, pelaksana dan peserta kampanye sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 119, Panwaslu provinsi melakukan:
a. pelaporan tentang dugaan adanya tindak pidana Pemilu dimaksud kepada
Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau
b. pelaporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi
Bawaslu tentang sanksi.

Panwaslu provinsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tindak lanjut
rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 120.

Pasal 123
(1) Bawaslu melakukan pengawasan pelaksanaan tahapan kampanye secara
nasional, terhadap:
a. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU
provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai
Seretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat
KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat
KPU kabupaten/kota melakukan tindak pidana Pemilu atau pelanggaran
administratif yang mengakibatkan terganggunya tahapan kampanye yang
sedang berlangsung; atau
b. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian pelaksana kampanye,
peserta kampanye, dan petugas kampanye melakukan tindak pidana
Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya
tahapan kampanye yang sedang berlangsung.

(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bawaslu:
a. menerima laporan dugaan adanya pelanggaran terhadap ketentuan
pelaksanaan kampanye Pemilu;
b. menyelesaikan temuan dan laporan adanya pelanggaran kampanye
Pemilu yang tidak mengandung unsur pidana;
c. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU tentang adanya
pelanggaran kampanye Pemilu untuk ditindaklanjuti;
d. meneruskan temuan dan laporan tentang dugaan adanya tindak pidana
Pemilu kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia;
e. memberikan rekomendasi kepada KPU tentang dugaan adanya tindakan
yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan kampanye
Pemilu oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris
Jenderal KPU, pegawai Seretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU
provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU
kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota
berdasarkan laporan Panwaslu provinsi dan Panwaslu kabupaten/kota;
dan/atau
f. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi pengenaan sanksi
kepada anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris
Jenderal KPU, pegawai Seretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi,
pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan
pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota yang terbukti melakukan
tindakan yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye
Pemilu yang sedang berlangsung.


Pasal 124

(1) Dalam hal Bawaslu menerima laporan dugaan adanya pelanggaran
administratif terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (2) huruf a, Bawaslu
menetapkan penyelesaian pada hari yang sama diterimanya laporan.

2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup tentang dugaan adanya
pelanggaran administratif oleh pelaksana dan peserta kampanye di tingkat
pusat, Bawaslu menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU.

(3) Dalam hal KPU menerima laporan dan temuan yang mengandung bukti
permulaan yang cukup tentang dugaan adanya pelanggaran administratif
oleh pelaksana dan peserta kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), KPU langsung menetapkan penyelesaian pada hari yang sama dengan
hari diterimanya laporan.

(4) Dalam hal Bawaslu menerima laporan dugaan pelanggaran administratif
terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU, KPU
provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Sekretariat
Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi,
sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU
kabupaten/kota, maka Bawaslu memberikan rekomendasi kepada KPU
untuk memberikan sanksi.



Pasal 125

(1) Sanksi terhadap pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 124 ayat (3) selain yang diatur dalam Undang-Undang ini ditetapkan
oleh KPU bersama Bawaslu.

(2) Sanksi terhadap pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 124 ayat (4) selain yang diatur dalam Undang-Undang ini ditetapkan
dalam kode etik yang disusun secara bersama oleh KPU dan Bawaslu
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 126

Dalam hal Bawaslu menerima laporan dugaan adanya tindak pidana Pemilu yang
dilakukan oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris
Jenderal KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi,
pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai
sekretariat KPU kabupaten/kota, pelaksana dan peserta kampanye sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1), dalam pelaksanaan kampanye Pemilu
Bawaslu melakukan:
a. pelaporan tentang dugaan adanya tindak pidana Pemilu dimaksud kepada
Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau
b. pemberian rekomendasi kepada KPU untuk menetapkan sanksi.

Pasal 127
Bawaslu melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi penonaktifan sementara dan/atau sanksi administratif kepada anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai secretariat KPU kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindak pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye yang sedang berlangsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126.

Pasal 128


Pengawasan oleh Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota
serta tindak lanjut KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota terhadap temuan atau laporan yang diterima tidak memengaruhi jadwal pelaksanaan kampanye sebagaimana yang telah ditetapkan.

Bagian Kesepuluh
Dana Kampanye Pemilu

Pasal 129

(1) Kegiatan kampanye Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota didanai dan menjadi tanggung jawab Partai Politik Peserta
Pemilu masing-masing.

(2) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber
dari:
a. partai politik;
b. calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari
partai politik yang bersangkutan; dan
c. sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain.

(3) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa
uang, barang, dan/atau jasa.

(4) Dana kampanye Pemilu berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditempatkan pada rekening khusus dana kampanye Partai Politik Peserta
Pemilu pada bank.

(5) Dana kampanye Pemilu berupa sumbangan dalam bentuk barang dan/atau
jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat berdasarkan harga pasar
yang wajar pada saat sumbangan itu diterima.

(6) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicatat dalam
pembukuan penerimaan dan pengeluaran khusus dana kampanye Pemilu
yang terpisah dari pembukuan keuangan partai politik.

(7) Pembukuan dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
dimulai sejak 3 (tiga) hari setelah partai politik ditetapkan sebagai Peserta
Pemilu dan ditutup 1 (satu) minggu sebelum penyampaian laporan
penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada kantor akuntan publik
yang ditunjuk KPU.
Pasal 130

Dana kampanye Pemilu yang bersumber dari sumbangan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2) huruf c bersifat tidak mengikat dan dapat berasal dari perseorangan, kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah.

Pasal 131

(1) Dana kampanye Pemilu yang berasal dari sumbangan pihak lain
perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2) huruf c tidak
boleh melebihi Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Dana kampanye Pemilu yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok,
perusahan, dan/atau badan usaha nonpemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 129 ayat (2) huruf c tidak boleh melebihi Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).

(3) Pemberi sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
harus mencantumkan identitas yang jelas.

Pasal 132

(1) Kegiatan kampanye Pemilu anggota DPD didanai dan menjadi tanggung
jawab calon anggota DPD masing-masing.

(2) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber
dari:
a. calon anggota DPD yang bersangkutan; dan
b. sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain.

(3) Dana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa uang,
barang dan/atau jasa.

(4) Dana kampanye Pemilu berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditempatkan pada rekening khusus dana kampanye Pemilu calon anggota
DPD yang bersangkutan pada bank.

(5) Dana kampanye Pemilu berupa sumbangan dalam bentuk barang dan/atau
jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat berdasarkan harga pasar
yang wajar pada saat sumbangan itu diterima.

(6) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicatat dalam
pembukuan penerimaan dan pengeluaran khusus dana kampanye Pemilu
yang terpisah dari pembukuan keuangan pribadi calon anggota DPD yang
bersangkutan.

(7) Pembukuan dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
dimulai sejak 3 (tiga) hari setelah calon anggota DPD ditetapkan sebagai
Peserta Pemilu dan ditutup 1 (satu) minggu sebelum penyampaian laporan
penerimaan dan pengeluaran dana kampanye Pemilu kepada kantor akuntan
publik yang ditunjuk KPU.

Pasal 133

(1) Dana kampanye Pemilu calon anggota DPD yang berasal dari sumbangan
pihak lain perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (2)
huruf b tidak boleh melebihi Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah).

(2) Dana kampanye Pemilu calon anggota DPD yang berasal dari sumbangan
pihak lain kelompok, perusahan dan/atau badan usaha nonpemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (2) huruf b tidak boleh
melebihi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Pemberi sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
harus mencantumkan identitas yang jelas.

Pasal 134

(1) Partai Politik Peserta Pemilu sesuai dengan tingkatannya memberikan
laporan awal dana kampanye Pemilu dan rekening khusus dana kampanye
kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota paling lambat 7 (tujuh)
hari sebelum hari pertama jadwal pelaksanaan kampanye dalam bentuk
rapat umum.

(2) Calon anggota DPD Peserta Pemilu memberikan laporan awal dana
kampanye Pemilu dan rekening khusus dana kampanye kepada KPU melalui
KPU provinsi paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari pertama jadwal
pelaksanaan kampanye dalam bentuk rapat umum.

Pasal 135

(1) Laporan dana kampanye Partai Politik Peserta Pemilu yang meliputi
penerimaan dan pengeluaran disampaikan kepada kantor akuntan publik
yang ditunjuk oleh KPU paling lama 15 (lima belas) hari sesudah hari/tanggal
pemungutan suara.

(2) Laporan dana kampanye calon anggota DPD yang meliputi penerimaan dan
pengeluaran disampaikan kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh
KPU paling lama 15 (lima belas) hari sesudah hari/tanggal pemungutan
suara.

(3) Kantor akuntan publik menyampaikan hasil audit kepada KPU, KPU provinsi,
dan KPU kabupaten/kota paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

(4) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memberitahukan hasil audit
dana kampanye Peserta Pemilu masing-masing kepada Peserta Pemilu
paling lama 7 (tujuh) hari setelah KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota menerima hasil audit dari kantor akuntan publik.

(5) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan hasil
pemeriksaan dana kampanye kepada publik paling lambat 10 (sepuluh) hari
setelah diterimanya laporan hasil pemeriksaan.

Pasal 136
(1) KPU menetapkan kantor akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
135 ayat (1) dan ayat (2) yang memenuhi persyaratan di setiap provinsi.

(2) Kantor akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermeterai cukup bahwa
rekan yang bertanggung jawab atas pemeriksaan laporan dana
kampanye tidak berafiliasi secara langsung ataupun tidak langsung
dengan partai politik dan calon anggota DPD Peserta Pemilu;
b. membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermeterai cukup bahwa
rekan yang bertanggung jawab atas pemeriksaan laporan dana
kampanye bukan merupakan anggota atau pengurus partai politik.

(3) Biaya jasa akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan
pada anggaran pendapatan dan belanja negara.

Pasal 137

(1) Dalam hal kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh KPU sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 135 ayat (1) dalam proses pelaksanaan audit
diketahui tidak memberikan informasi yang benar mengenai persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2), KPU membatalkan
penunjukan kantor akuntan publik yang bersangkutan.

(2) Kantor akuntan publik yang dibatalkan pekerjaannya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berhak mendapatkan pembayaran jasa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 136 ayat (3).

(3) KPU menunjuk kantor akuntan publik pengganti untuk melanjutkan
pelaksanaan audit atas laporan dana kampanye partai yang bersangkutan.



Pasal 138
(1) Dalam hal pengurus partai politik Peserta Pemilu tingkat pusat, tingkat
provinsi, dan tingkat kabupaten/kota tidak menyampaikan laporan awal dana
kampanye kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sampai
batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (1), partai politik
yang bersangkutan dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai Peserta
Pemilu pada wilayah yang bersangkutan.

(2) Dalam hal calon anggota DPD Peserta Pemilu tidak menyampaikan laporan
awal dana kampanye kepada KPU melalui KPU provinsi sampai batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (2), calon anggota DPD yang
bersangkutan dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai Peserta Pemilu.

(3) Dalam hal pengurus partai politik Peserta Pemilu tingkat pusat, tingkat
provinsi dan tingkat kabupaten/kota tidak menyampaikan laporan
penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada kantor akuntan publik
yang ditunjuk oleh KPU sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 135 ayat (1), partai politik yang bersangkutan dikenai sanksi berupa
tidak ditetapkannya calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota menjadi calon terpilih.

(4) Dalam hal calon anggota DPD Peserta Pemilu tidak menyampaikan laporan
penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada kantor akuntan publik
yang ditunjuk oleh KPU sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 135 ayat (2), calon anggota DPD yang bersangkutan dikenai sanksi
berupa tidak ditetapkan menjadi calon terpilih.

Pasal 139

(1) Peserta Pemilu dilarang menerima sumbangan yang berasal dari:
a. pihak asing;
b. penyumbang yang tidak jelas identitasnya;
c. pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, dan badan
usaha milik daerah; atau
d. pemerintah desa dan badan usaha milik desa.

(2) Peserta Pemilu yang menerima sumbangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak dibenarkan menggunakan dana tersebut dan wajib
melaporkannya kepada KPU dan menyerahkan sumbangan tersebut kepada
kas negara paling lambat 14 (empat belas) hari setelah masa kampanye
berakhir.

(3) Peserta Pemilu yang tidak memenuhi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 140
\
Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa pelaksana kampanye
Peserta Pemilu melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139,
KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota melakukan tindakan hukum
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.


BAB IX
PERLENGKAPAN PEMUNGUTAN SUARA

Pasal 141

(1) KPU bertanggung jawab dalam merencanakan dan menetapkan standar
serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan pemungutan
suara.

(2) Sekretaris Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, dan sekretaris KPU
kabupaten/kota bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengadaan dan
pendistribusian perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).

Pasal 142

(1) Jenis perlengkapan pemungutan suara terdiri atas:
a. kotak suara;
b. surat suara;
c. tinta;
d. bilik pemungutan suara;
e. segel;
f. alat untuk memberi tanda pilihan; dang. paku; dan
g. tempat pemungutan suara.

(2) Selain perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), untuk menjaga keamanan, kerahasiaan, dan kelancaran pelaksanaan
pemungutan suara dan penghitungan suara, diperlukan dukungan
perlengkapan lainnya.

(3) Bentuk, ukuran, dan spesifikasi teknis perlengkapan pemungutan suara
ditetapkan dengan peraturan KPU.

(4) Pengadaan perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e dilaksanakan oleh
Sekretariat Jenderal KPU dengan berpedoman pada ketentuan peraturan
perundang-undangan.

(5) Pengadaan perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, huruf d, huruf f, dan ayat (2), Sekretaris Jenderal KPU dapat
melimpahkan kewenangannya kepada sekretaris KPU provinsi.

(6) Pengadaan perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf g dilaksanakan oleh KPPS bekerja sama dengan masyarakat.

(7) Perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e harus sudah diterima KPPS
paling lambat 1 (satu) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara.

(8) Pendistribusian perlengkapan pemungutan suara dilakukan oleh Sekretariat
Jenderal KPU, sekretariat KPU provinsi, dan sekretariat KPU
kabupaten/kota.

(9) Dalam pendistribusian dan pengamanan perlengkapan pemungutan suara,
KPU dapat bekerja sama dengan pemerintah, pemerintah daerah, Tentara
Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 143
(1) Surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (1) huruf b untuk
calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota memuat
tanda gambar partai politik, nomor urut partai politik, nomor urut calon, dan
nama calon tetap partai politik untuk setiap daerah pemilihan.

(2) Surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (1) huruf b untuk
calon anggota DPD berisi pas foto diri terbaru dan nama calon anggota DPD
untuk setiap daerah pemilihan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat suara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dalam peraturan KPU.

Pasal 144
(1) Jenis, bentuk, ukuran, warna, dan spesifikasi teknis lain surat suara
ditetapkan dalam peraturan KPU.

(2) Nomor urut tanda gambar partai politik dan calon anggota DPD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 143 ditetapkan dengan keputusan KPU.

Pasal 145

(1) Pengadaan surat suara dilakukan di dalam negeri dengan mengutamakan
kapasitas cetak yang sesuai dengan kebutuhan surat suara dan hasil cetak
yang berkualitas baik.

(2) Jumlah surat suara yang dicetak sama dengan jumlah pemilih tetap
ditambah dengan 2% (dua perseratus) dari jumlah pemilih tetap sebagai
cadangan, yang ditetapkan dengan keputusan KPU.

(3) Selain menetapkan pencetakan surat suara sebagaimana diatur pada ayat
(2), KPU menetapkan besarnya jumlah surat suara untuk pelaksanaan
pemungutan suara ulang.

(4) Jumlah surat suara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh
KPU untuk setiap daerah pemilihan sebanyak 1.000 (seribu) surat suara
pemungutan suara ulang yang diberi tanda khusus, masing-masing surat
suara untuk anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Pasal 146

(1) Perusahaan pencetak surat suara dilarang mencetak surat suara lebih dari
jumlah yang ditetapkan oleh KPU dan harus menjaga kerahasiaan,
keamanan, serta keutuhan surat suara.

(2) KPU meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk
mengamankan surat suara selama proses pencetakan berlangsung,
penyimpanan, dan pendistribusian ke tempat tujuan.

(3) KPU memverifikasi jumlah surat suara yang telah dicetak, jumlah yang sudah
dikirim dan/atau jumlah yang masih tersimpan dengan membuat berita acara
yang ditandatangani oleh pihak percetakan dan petugas KPU.

(4) KPU mengawasi dan mengamankan desain, film separasi, dan plat cetak
yang digunakan untuk membuat surat suara, sebelum dan sesudah
digunakan serta menyegel dan menyimpannya.

(5) Tata cara pelaksanaan pengamanan terhadap pencetakan, penghitungan,
penyimpanan, pengepakan, dan pendistribusian surat suara ke tempat tujuan
ditetapkan dengan peraturan KPU.

Pasal 147

Pengawasan atas pelaksanaan tugas dan wewenang KPU, KPU provinsi, dan
KPU kabupaten/kota serta Sekretariat Jenderal KPU, sekretariat KPU provinsi, dan sekretariat KPU kabupaten/kota mengenai pengadaan dan distribusi perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 dilaksanakan oleh Bawaslu dan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.

BAB X
PEMUNGUTAN SUARA

Pasal 149

(1) Pemungutan suara Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota diselenggarakan secara serentak

(2) Hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara pemilihan anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk semua daerah pemilihan
ditetapkan dengan keputusan KPU.

Pasal 149

(1) Pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPS meliputi:
a. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tetap pada TPS yang
bersangkutan; dan
b. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tambahan.

(2) Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat menggunakan
haknya untuk memilih di TPS lain/TPSLN dengan menunjukkan surat
pemberitahuan dari PPS untuk memberikan suara di TPS lain/TPSLN.

(3) Dalam hal pada suatu TPS terdapat pemilih sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, KPPS pada TPS tersebut mencatat dan melaporkan kepada
KPU kabupaten/kota melalui PPK.

Pasal 150

(1) Pemilih untuk setiap TPS paling banyak 500 (lima ratus) orang.

(2) Jumlah surat suara di setiap TPS sama dengan jumlah pemilih yang
tercantum di dalam daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan
ditambah dengan 2% (dua perseratus) dari daftar pemilih tetap sebagai
cadangan.
(3) Penggunaan surat suara cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dibuatkan berita acara.

(4) Format berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan
peraturan KPU.

Pasal 151

(1) Pelaksanaan pemungutan suara dipimpin oleh KPPS.

(2) Pemberian suara dilaksanakan oleh pemilih.

(3) Pelaksanaan pemungutan suara disaksikan oleh saksi Peserta Pemilu.

(4) Penanganan ketenteraman, ketertiban, dan keamanan di setiap TPS
dilaksanakan oleh 2 (dua) orang petugas yang ditetapkan oleh PPS.

(5) Pengawasan pemungutan suara dilaksanakan oleh Pengawas Pemilu
Lapangan.

(6) Pemantauan pemungutan suara dilaksanakan oleh pemantau Pemilu yang
telah diakreditasi oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

(7) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus menyerahkan mandat
tertulis dari Partai Politik Peserta Pemilu atau dari calon anggota DPD.


Pasal 152

(1) Dalam rangka persiapan pemungutan suara, KPPS melakukan kegiatan
yang meliputi:
a. penyiapan TPS;
b. pengumuman dengan menempelkan daftar pemilih tetap, daftar pemilih
tambahan, dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota di TPS; dan
c. penyerahan salinan daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan
kepada saksi yang hadir dan Pengawas Pemilu Lapangan.

(2) Dalam rangka pelaksanaan pemungutan suara, KPPS melakukan kegiatan
yang meliputi:
a. pemeriksaan persiapan akhir pemungutan suara;
b. rapat pemungutan suara;
c. pengucapan sumpah atau janji anggota KPPS dan petugas
ketenteraman, ketertiban, dan keamanan TPS;
d. penjelasan kepada pemilih tentang tata cara pemungutan suara; dan Elec
e. pelaksanaan pemberian suara.

Pasal 153
(1) Pemberian suara untuk Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan memberikan tanda satu kali pada
surat suara.

(2) Memberikan tanda satu kali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan prinsip memudahkan pemilih, akurasi dalam penghitungan
suara, dan efisien dalam penyelenggaraan Pemilu.

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara memberikan tanda diatur dengan
peraturan KPU.

Pasal 154

(1) Sebelum melaksanakan pemungutan suara, KPPS:
a. membuka kotak suara;
b. mengeluarkan seluruh isi kotak suara;
c. mengidentifikasi jenis dokumen dan peralatan;
d. menghitung jumlah setiap jenis dokumen dan peralatan;
e. memeriksa keadaan seluruh surat suara; dan
f. menandatangani surat suara yang akan digunakan oleh pemilih.
(2) Saksi Peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, dan warga
masyarakat berhak menghadiri kegiatan KPPS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).

(3) Ketua KPPS wajib membuat dan menandatangani berita acara kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berita acara tersebut
ditandatangani oleh paling sedikit 2 (dua) orang anggota KPPS dan saksi
Peserta Pemilu yang hadir.

Pasal 155

(1) Dalam memberikan suara, pemilih diberi kesempatan oleh KPPS berdasarkan prinsip urutan kehadiran pemilih.

(2) Apabila pemilih menerima surat suara yang ternyata rusak, pemilih dapat
meminta surat suara pengganti kepada KPPS dan KPPS wajib memberikan
surat suara pengganti hanya 1 (satu) kali dan mencatat surat suara yang
rusak dalam berita acara.

(3) Apabila terdapat kekeliruan dalam memberikan suara, pemilih dapat meminta
surat suara pengganti kepada KPPS dan KPPS hanya memberikan surat
suara pengganti 1 (satu) kali.

Pasal 156

(1) Pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai halangan fisik lain saat
memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan
pemilih.CETRO (Center for Electoral Reform)
52
(2) Orang lain yang membantu pemilih dalam memberikan suaranya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan pemilih.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan kepada pemilih
ditetapkan dengan peraturan KPU.

Pasal 157

(1) Pemungutan suara bagi Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri
hanya memilih calon anggota DPR.

(2) Pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di
setiap Perwakilan Republik Indonesia dan dilakukan pada waktu yang sama
atau waktu yang disesuaikan dengan waktu pemungutan suara di Indonesia.

(3) Dalam hal pemilih tidak dapat memberikan suara di TPSLN yang telah
ditentukan, pemilih dapat memberikan suara melalui pos yang disampaikan
kepada PPLN di Perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pasal 158
(1) Pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPSLN meliputi :
a. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tetap pada TPSLN yang
bersangkutan; dan
b. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tambahan.

(2) Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat menggunakan
haknya untuk memilih di TPSLN lain/TPS dengan menunjukkan surat
pemberitahuan dari PPLN untuk memberikan suara di TPSLN lain/TPS.

(3) KPPSLN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencatat dan melaporkan
kepada PPLN.

Pasal 159

Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri yang tidak terdaftar sebagai
pemilih tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih.

Pasal 160

(1) Pelaksanaan pemungutan suara di TPSLN dipimpin oleh KPPSLN.

(2) Pemberian suara dilaksanakan oleh pemilih.

(3) Pelaksanaan pemungutan suara disaksikan oleh saksi Partai Politik Peserta
Pemilu.

(4) Pengawasan pemungutan suara dilaksanakan oleh Pengawas Pemilu Luar
Negeri.

(5) Pemantauan pemungutan suara dilaksanakan oleh pemantau Pemilu yang
telah diakreditasi oleh KPU.

(6) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus menyerahkan mandat
tertulis dari Partai Politik Peserta Pemilu.
CETRO (Center for Electoral Reform)
53
Pasal 161

(1) Dalam rangka persiapan pemungutan suara, KPPSLN melakukan kegiatan
yang meliputi:
a. penyiapan TPSLN;
b. pengumuman dengan menempelkan daftar pemilih tetap, daftar pemilih
tambahan, dan daftar calon tetap anggota DPR di TPSLN; dan
c. penyerahan salinan daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan
kepada saksi yang hadir dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.

(2) Dalam rangka pelaksanaan pemungutan suara, KPPSLN melakukan
kegiatan yang meliputi:
a. pemeriksaan persiapan akhir pemungutan suara;
b. rapat pemungutan suara;
c. pengucapan sumpah atau janji anggota KPPSLN dan petugas
ketenteraman, ketertiban, dan keamanan TPSLN;
d. penjelasan kepada pemilih tentang tata cara pemungutan suara; dan
e. pelaksanaan pemberian suara.

Pasal 162

(1) Sebelum melaksanakan pemungutan suara, KPPSLN:
a. membuka kotak suara;
b. mengeluarkan seluruh isi kotak suara;
c. mengidentifikasi jenis dokumen dan peralatan;
d. menghitung jumlah setiap jenis dokumen dan peralatan;
e. memeriksa keadaan seluruh surat suara; dan
f. menandatangani surat suara yang akan digunakan oleh pemilih.

(2) Saksi Partai Politik Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Luar Negeri, pemantau
Pemilu, dan warga masyarakat berhak menghadiri kegiatan KPPSLN
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Ketua KPPSLN wajib membuat dan menandatangani berita acara kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berita acara tersebut
ditandatangani oleh paling sedikit 2 (dua) orang anggota KPPSLN dan saksi
Partai Politik Peserta Pemilu yang hadir.

Pasal 163

(1) Dalam memberikan suara, pemilih diberi kesempatan oleh KPPSLN
berdasarkan prinsip urutan kehadiran pemilih.

(2) Apabila pemilih menerima surat suara yang ternyata rusak, pemilih dapat
meminta surat suara pengganti kepada KPPSLN dan KPPSLN wajib
memberikan surat suara pengganti hanya 1 (satu) kali dan mencatat surat
suara yang rusak dalam berita acara.

(3) Apabila terdapat kekeliruan dalam memberikan suara, pemilih dapat meminta
surat suara pengganti kepada KPPSLN dan KPPSLN hanya memberikan
surat suara pengganti 1 (satu) kali.
CETRO (Center for Electoral Reform)
54
Pasal 164

(1) Pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai halangan fisik lain saat
memberikan suaranya di TPSLN dapat dibantu oleh orang lain atas
permintaan pemilih.

(2) Orang lain yang membantu pemilih dalam memberikan suaranya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan pemilih.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan kepada pemilih
ditetapkan dengan peraturan KPU.

Pasal 165

(1) Pemilih tidak boleh membubuhkan tulisan dan/atau catatan lain pada surat
suara.

(2) Surat suara yang terdapat tulisan dan/atau catatan lain dinyatakan tidak sah.

Pasal 166

(1) Pemilih yang telah memberikan suara, diberi tanda khusus oleh
KPPS/KPPSLN.

(2) Tanda khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam
peraturan KPU.

Pasal 167

(1) KPPS/KPPSLN dilarang mengadakan penghitungan suara sebelum
pemungutan suara berakhir.

(2) Ketentuan mengenai waktu berakhirnya pemungutan suara ditetapkan dalam
peraturan KPU.

Pasal 168

(1) KPPS/KPPSLN bertanggung jawab atas pelaksanaan pemungutan suara
secara tertib dan lancar.

(2) Pemilih melakukan pemberian suara dengan tertib dan bertanggung jawab
.
(3) Saksi melakukan tugasnya dengan tertib dan bertanggung jawab.

(4) Petugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan wajib menjaga ketertiban,
ketenteraman dan keamanan di lingkungan TPS/TPSLN.

(5) Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri wajib melakukan
pengawasan atas pelaksanaan pemungutan suara dengan tertib dan
bertanggung jawab.
Pasal 169

(1) Warga masyarakat yang tidak memiliki hak pilih atau yang tidak sedang
melaksanakan pemberian suara dilarang berada di dalam TPS/TPSLN.
CETRO (Center for Electoral Reform)55
(2) Pemantau Pemilu dilarang berada di dalam TPS/TPSLN.

(3) Warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemantau
Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memelihara ketertiban dan
kelancaran pelaksanaan pemungutan suara.

Pasal 170

(1) Dalam hal terjadi penyimpangan pelaksanaan pemungutan suara oleh
KPPS/KPPSLN, Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri
memberikan saran perbaikan disaksikan oleh saksi yang hadir dan petugas
ketenteraman, ketertiban, dan keamanan TPS/TPSLN.

(2) KPPS/KPPSLN seketika itu juga menindaklanjuti saran perbaikan yang
disampaikan oleh pengawas Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 171

(1) Dalam hal terjadi pelanggaran ketenteraman, ketertiban, dan keamanan
pelaksanaan pemungutan suara oleh anggota masyarakat dan/atau oleh
pemantau Pemilu, petugas ketenteraman, ketertiban, dan keamanan
melakukan penanganan secara memadai.

(2) Dalam hal anggota masyarakat dan/atau pemantau Pemilu tidak mematuhi
penanganan oleh petugas ketenteraman, ketertiban, dan keamanan, yang
bersangkutan diserahkan kepada petugas Kepolisian Negara Republik
Indonesia.

BAB XI
PENGHITUNGAN SUARA
Bagian Kesatu
Penghitungan Suara di TPS/TPSLN

Pasal 172

(1) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di TPS dilaksanakan
oleh KPPS.

(2) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota
DPR di TPSLN dilaksanakan oleh KPPSLN.

(3) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di TPS disaksikan
oleh saksi Peserta Pemilu.

(4) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota
DPR di TPSLN disaksikan oleh saksi Peserta Pemilu.

(5) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di TPS diawasi oleh
Pengawas Pemilu Lapangan.

(6) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota
DPR di TPSLN diawasi oleh Pengawas Pemilu Luar Negeri.ectoral Reform)
56
(7) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di TPS dipantau oleh
pemantau Pemilu dan masyarakat.

(8) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota
DPR di TPSLN dipantau oleh pemantau Pemilu dan masyarakat.

(9) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) yang belum
menyerahkan mandat tertulis pada saat pemungutan suara harus
menyerahkan mandat tertulis dari Peserta Pemilu kepada ketua
KPPS/KPPSLN.

Pasal 173

(1) Penghitungan suara di TPS/TPSLN dilaksanakan setelah waktu pemungutan
suara berakhir.

(2) Penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan
dan selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari/tanggal
pemungutan suara.

Pasal 174

(1) KPPS melakukan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
di dalam TPS.

(2) KPPSLN melakukan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan
suara calon anggota DPR di dalam TPSLN.

(3) Saksi menyaksikan dan mencatat pelaksanaan penghitungan suara Partai
Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota di dalam TPS/TPSLN.
(4) Pengawas Pemilu Lapangan mengawasi pelaksanaan penghitungan suara
Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di dalam TPS.

(5) Pengawas Pemilu Luar Negeri mengawasi pelaksanaan penghitungan suara
Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di dalam TPSLN.

(6) Pemantau Pemilu memantau pelaksanaan penghitungan suara Partai Politik
Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota di luar TPS.

(7) Pemantau Pemilu memantau pelaksanaan penghitungan suara Partai Politik
Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di luar TPSLN.

(8) Warga masyarakat menyaksikan pelaksanaan penghitungan suara Partai
Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota di luar TPS.

(9) Warga masyarakat menyaksikan pelaksanaan penghitungan suara Partai
Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di luar TPSLN.

Pasal 175

CETRO (Center for Electoral Reform)
57
(1) Sebelum melaksanakan penghitungan suara, KPPS/KPPSLN menghitung:
a. jumlah pemilih yang memberikan suara berdasarkan salinan daftar
pemilih tetap;
b. jumlah pemilih yang berasal dari TPS/TPSLN lain;
c. jumlah surat suara yang tidak terpakai;
d. jumlah surat suara yang dikembalikan oleh pemilih karena rusak atau
salah dalam cara memberikan suara; dan
e. sisa surat suara cadangan.
(2) Penggunaan surat suara cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf e dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh ketua
KPPS/KPPSLN dan oleh paling sedikit 2 (dua) orang anggota
KPPS/KPPSLN yang hadir.

Pasal 176
(1) Suara untuk Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota dinyatakan sah apabila:
a. surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS; dan
b. pemberian tanda satu kali pada kolom nama partai atau kolom nomor
calon atau kolom nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota.

(2) Suara untuk Pemilu anggota DPD dinyatakan sah apabila:
a. surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS; dan
b. pemberian tanda satu kali pada foto salah satu calon anggota DPD.

(3) Ketentuan mengenai pedoman teknis pelaksanaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan KPU.

Pasal 177

(1) Ketua KPPS/KPPSLN melakukan penghitungan suara dengan suara yang
jelas dan terdengar dengan memperlihatkan surat suara yang dihitung.

(2) Penghitungan suara dilakukan secara terbuka dan di tempat yang terang
atau yang mendapat penerangan cahaya cukup.

(3) Penghitungan suara dicatat pada lembar/papan/layar penghitungan dengan
tulisan yang jelas dan terbaca.

(4) Format penulisan penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dalam peraturan KPU.

Pasal 178

(1) Peserta Pemilu, saksi, Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar
Negeri dan masyarakat dapat menyampaikan laporan atas dugaan adanya
pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan
penghitungan suara kepada KPPS/KPPSLN.

(2) Peserta Pemilu dan warga masyarakat melalui saksi Peserta Pemilu atau
Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri yang hadir dapat
mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh
KPPS/KPPSLN apabila ternyata terdapat hal yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

(3) Dalam hal keberatan yang diajukan melalui saksi Peserta Pemilu atau
Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat diterima, KPPS/KPPSLN seketika itu juga
mengadakan pembetulan.

Pasal 179

(1) Hasil penghitungan suara di TPS/TPSLN dituangkan ke dalam berita acara
pemungutan dan penghitungan suara serta ke dalam sertifikat hasil
penghitungan suara Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota dengan menggunakan format yang ditetapkan dalam
peraturan KPU.

(2) Berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta sertifikat hasil
penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani
oleh seluruh anggota KPPS/KPPSLN dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.

(3) Dalam hal terdapat anggota KPPS/KPPSLN dan saksi Peserta Pemilu yang
hadir tidak bersedia menandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta sertifikat hasil
penghitungan suara ditandatangani oleh anggota KPPS/KPPSLN dan saksi
Peserta Pemilu yang hadir yang bersedia menandatangani.

Pasal 180

(1) KPPS/KPPSLN mengumumkan hasil penghitungan suara di TPS/TPSLN.

(2) KPPS wajib memberikan 1 (satu) eksemplar berita acara pemungutan dan
penghitungan suara serta sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi
Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan, PPS, dan PPK melalui PPS
pada hari yang sama.

(3) KPPSLN wajib memberikan 1 (satu) eksemplar berita acara pemungutan dan
penghitungan suara serta sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi
Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Luar Negeri dan PPLN pada hari yang
sama.

(4) KPPS/KPPSLN wajib menyegel, menjaga, dan mengamankan keutuhan
kotak suara setelah penghitungan suara.

(5) KPPS/KPPSLN wajib menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat
suara, berita acara pemungutan suara serta sertifikat hasil penghitungan
suara kepada PPK melalui PPS atau kepada PPLN bagi KPPSLN pada hari
yang sama.

(6) Penyerahan kotak suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara
pemungutan dan penghitungan suara serta sertifikat hasil penghitungan
suara kepada PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib diawasi oleh
Pengawas Pemilu Lapangan dan Panwaslu kecamatan serta wajib
dilaporkan kepada Panwaslu kabupaten/kota.

Pasal 181
CETRO (Center for Electoral Reform)
59
PPS wajib mengumumkan salinan sertifikat hasil penghitungan suara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (2) dari seluruh TPS di wilayah
kerjanya dengan cara menempelkan salinan tersebut di tempat umum.

Bagian Kedua
Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara di Kecamatan
Pasal 182

(1) PPK membuat berita acara penerimaan hasil penghitungan suara Partai
Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota dari TPS melalui PPS.

(2) PPK melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai
Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu kecamatan.

(3) Rekapitulasi penghitungan suara dilakukan dengan membuka kotak suara
tersegel untuk mengambil sampul yang berisi berita acara pemungutan suara
dan sertifikat hasil penghitungan suara, kemudian kotak ditutup dan disegel
kembali.

(4) PPK membuat berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara
Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan membuat sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara.

(5) PPK mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara Partai
Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) di
tempat umum.

(6) PPK menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan sertifikat rekapitulasi
hasil penghitungan perolehan suara tersebut kepada saksi Peserta Pemilu,
Panwaslu kecamatan, dan KPU kabupaten/kota.

Pasal 183

(1) Panwaslu kecamatan wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya
pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu
dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota kepada PPK.

(2) Saksi dapat menyampaikan laporan dugaan adanya pelanggaran,
penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan
suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
kepada PPK.

(3) PPK wajib langsung menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) pada hari pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada PPK.
CETRO (Center for Electoral Reform)
60
Pasal 184

(1) Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di PPK dituangkan ke
dalam berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan
sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik
Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan menggunakan format yang
ditetapkan dalam peraturan KPU.

(2) Berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu
dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh
seluruh anggota PPK dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.

(3) Dalam hal terdapat anggota PPK dan saksi Peserta Pemilu yang hadir, tetapi
tidak bersedia menandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berita
acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu
dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota ditandatangani oleh anggota PPK dan saksi Peserta Pemilu
yang hadir yang bersedia menandatangani.

Pasal 185

PPK wajib menyerahkan kepada KPU kabupaten/kota surat suara calon anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari TPS dalam kotak
suara tersegel serta berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara
dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu di tingkat PPK yang dilampiri berita acara pemungutan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara dari TPS.

Pasal 186

(1) PPLN melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai
Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR dari seluruh KPPSLN di
wilayah kerjanya serta melakukan penghitungan perolehan suara yang
diterima melalui pos dengan disaksikan oleh saksi Peserta Pemilu yang hadir
dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.

(2) PPLN wajib membuat dan menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara dari seluruh KPPSLN di wilayah kerjanya kepada KPU.

Bagian Ketiga
Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara di Kabupaten/Kota

Pasal 187

(1) KPU kabupaten/kota membuat berita acara penerimaan rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan
suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
dari PPK.

(2) KPU kabupaten/kota melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR,
61 DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dalam rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu
kabupaten/kota.

(3) KPU kabupaten/kota membuat berita acara rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara dan membuat sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon
anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

(4) KPU kabupaten/kota mengumumkan rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon
anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(5) KPU kabupaten/kota menetapkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota
DPRD kabupaten/kota.

(6) KPU kabupaten/kota menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon
anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada
saksi Peserta Pemilu, Panwaslu kabupaten/kota, dan KPU provinsi.

Pasal 188

(1) Panwaslu kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya
pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu
dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota kepada KPU kabupaten/kota.
(2) Saksi dapat menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran,
penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan
suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
kepada KPU kabupaten/kota.

(3) KPU kabupaten/kota wajib langsung menindaklanjuti laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) pada hari pelaksanaan rekapitulasi penghitungan
perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon
anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Pasal 189

(1) Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di KPU kabupaten/kota
dituangkan ke dalam berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai
Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan menggunakan format yang
ditetapkan dalam peraturan KPU.

(2) Berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu
dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD, provinsi dan DPRD
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh
seluruh anggota KPU kabupaten/kota dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.

62
(3) Dalam hal terdapat anggota KPU kabupaten/kota dan saksi Peserta Pemilu
yang hadir, tetapi tidak bersedia menandatangani sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara
dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik
Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditandatangani oleh anggota KPU
kabupaten/kota dan saksi Peserta Pemilu yang hadir yang bersedia
menandatangani.

Pasal 190

KPU kabupaten/kota menyimpan, menjaga dan mengamankan keutuhan kotak
suara setelah pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Bagian Keempat
Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara di Provinsi

Pasal 191

(1) KPU provinsi membuat berita acara penerimaan rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan
suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
dari KPU kabupaten/kota.

(2) KPU provinsi melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara
Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dalam rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu.

(3) KPU provinsi membuat berita acara rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara dan membuat sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon
anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

(4) KPU provinsi mengumumkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(5) KPU provinsi menetapkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara
Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPRD
provinsi.

(6) KPU provinsi menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada saksi Peserta
Pemilu, Panwaslu provinsi, dan KPU.

Pasal 192

(1) Panwaslu provinsi wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya
pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu
dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota kepada KPU provinsi.

(2) Saksi dapat menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran,
penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan
suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
kepada KPU provinsi.

(3) KPU provinsi wajib langsung menindaklanjuti laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) pada hari pelaksanaan rekapitulasi penghitungan
perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon
anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Pasal 193

(1) Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di KPU provinsi dituangkan
ke dalam berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan
sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik
Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan menggunakan format yang
ditetapkan dalam peraturan KPU.

(2) Berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu
dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh
seluruh anggota KPU provinsi dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.

(3) Dalam hal terdapat anggota KPU provinsi dan saksi Peserta Pemilu yang
hadir, tetapi tidak bersedia menandatangani sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan
sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik
Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditandatangani oleh anggota KPU
provinsi dan saksi Peserta Pemilu yang hadir yang bersedia
menandatangani.

Bagian Kelima
Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara Secara Nasional

Pasal 194

(1) KPU membuat berita acara penerimaan rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon
anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari KPU
provinsi.

(2) KPU melakukan rekapitulasi hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara
Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dalam rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu dan Bawaslu.

(3) KPU membuat berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara
dan membuat sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara
Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

(4) KPU mengumumkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai
Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR dan DPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(5) KPU menetapkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai
Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR dan DPD.

(6) KPU menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai
Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada saksi Peserta Pemilu dan
Bawaslu.

Pasal 195

(1) Bawaslu wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran,
penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan
suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
kepada KPU.

(2) Saksi dapat menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran,
penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan
suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
kepada KPU.

(3) KPU wajib langsung menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) pada hari pelaksanaan rekapitulasi penghitungan perolehan suara
Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Pasal 196

(1) Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di KPU dituangkan ke
dalam berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan
sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik
Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan menggunakan format yang
ditetapkan dalam peraturan KPU.

(2) Berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu
dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh
seluruh anggota KPU dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.
(3) Dalam hal terdapat anggota KPU dan saksi Peserta Pemilu yang hadir, tetapi
tidak bersedia menandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berita
acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu
dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota ditandatangani oleh anggota KPU dan saksi Peserta Pemilu
yang hadir yang bersedia menandatangani.

Pasal 197
CETRO (Center for Electoral Reform)’65
Saksi Peserta Pemilu dalam rekapitulasi suara anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di PPK, KPU kabupaten/kota, KPU provinsi,
dan KPU harus menyerahkan mandat tertulis dari Peserta Pemilu.

Bagian Keenam
Pengawasan dan Sanksi dalam
Penghitungan Suara dan Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara

Pasal 198

(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu
kecamatan dan Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri
melakukan pengawasan atas rekapitulasi penghitungan perolehan suara
yang dilaksanakan oleh KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, dan
PPS/PPSLN.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap
kemungkinan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan oleh
anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK/PPLN, PPS, dan
KPPS/KPPSLN dalam melakukan rekapitulasi penghitungan perolehan
suara.

(3) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran,
penyimpangan dan/atau kesalahan dalam rekapitulasi penghitungan
perolehan suara, Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota,
Panwaslu kecamatan, dan Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu
Luar Negeri melaporkan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau
kesalahan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(4) Anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK/PPLN, PPS, dan
KPPS/KPPSLN yang melakukan pelanggaran, penyimpangan dan/atau
kesalahan dikenai tindakan hukum sesuai dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini.

BAB XII
PENETAPAN HASIL PEMILU
Bagian Kesatu
Hasil Pemilu

Pasal 199

(1) Hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
terdiri atas perolehan suara partai politik serta perolehan suara calon
anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
(2) KPU wajib menetapkan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Bagian Kedua
Penetapan Perolehan Suara

Pasal 200

(1) Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPR dan perolehan suara
untuk calon anggota DPD ditetapkan oleh KPU dalam sidang pleno terbuka
yang dihadiri oleh para saksi Peserta Pemilu dan Bawaslu.

(2) Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD provinsi ditetapkan
oleh KPU provinsi dalam sidang pleno terbuka yang dihadiri oleh para saksi
Peserta Pemilu dan Panwaslu provinsi.

(3) Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD kabupaten/kota
ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota dalam sidang pleno terbuka yang
dihadiri oleh para saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu kabupaten/kota.

Pasal 201

(1) KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional dan hasil perolehan suara
partai politik untuk calon anggota DPR dan perolehan suara untuk calon
anggota DPD paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah hari/tanggal
pemungutan suara.

(2) KPU provinsi menetapkan hasil perolehan suara partai politik untuk calon
anggota DPRD provinsi paling lambat 15 (lima belas) hari setelah
hari/tanggal pemungutan suara.

(3) KPU kabupaten/kota menetapkan hasil perolehan suara partai politik untuk
calon anggota DPRD kabupaten/kota paling lambat 12 (dua belas) hari
setelah hari/tanggal pemungutan suara.

Pasal 202

(1) Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara
sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah
secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam
penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

Pasal 203

(1) Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan
suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1), tidak disertakan
pada penghitungan perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan.

(2) Suara untuk penghitungan perolehan kursi DPR di suatu daerah pemilihan
ialah jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dikurangi jumlah
suara sah Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas
perolehan suara sebagaimana dimaksud`dalam Pasal 202 ayat (1).

(3) Dari hasil penghitungan suara sah yang diperoleh partai politik peserta pemilu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di suatu daerah pemilihan ditetapkan
angka BPP DPR dengan cara membagi jumlah suara sah Partai Politik
Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan jumlah kursi di
satu daerah pemilihan.

BAB XIII
PENETAPAN PEROLEHAN KURSI DAN CALON TERPILIH
Bagian Kesatu
CETRO (Center for Electoral Reform)
67
Penetapan Perolehan Kursi

Pasal 204

(1) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPR ditetapkan
oleh KPU.

(2) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD provinsi
ditetapkan oleh KPU provinsi.

(3) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD
kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota.

Pasal 205

(1) Penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR Partai Politik Peserta
Pemilu didasarkan atas hasil penghitungan seluruh suara sah dari setiap
Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan Pasal 202 di daerah
pemilihan yang bersangkutan.

(2) Dari hasil penghitungan seluruh suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan angka BPP DPR.

(3) Setelah ditetapkan angka BPP DPR dilakukan penghitungan perolehan kursi
tahap pertama dengan membagi jumlah suara sah yang diperoleh suatu
Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan dengan BPP DPR.

(4) Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan perolehan kursi
tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi
kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh suara sekurangkurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR.

(5) Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah dilakukan penghitungan tahap
kedua, maka dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap ketiga dengan
cara seluruh sisa suara Partai Politik Peserta Pemilu dikumpulkan di provinsi
untuk menentukan BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan.

(6) BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) ditetapkan dengan membagi jumlah sisa suara sah seluruh
Partai Politik Peserta Pemilu dengan jumlah sisa kursi.

(7) Penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan cara memberikan kursi kepada
partai politik yang mencapai BPP DPR yang baru di provinsi yang
bersangkutan.

Pasal 206

Dalam hal masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dengan BPP DPR yang
baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205, penetapan perolehan kursi Partai
Politik Peserta Pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi kepada
Partai Politik Peserta Pemilu di provinsi satu demi satu berturut-turut sampai
semua sisa kursi habis terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak.

Pasal 207

Dalam hal masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 206 dan sisa suara Partai Politik Peserta Pemilu sudah terkonversi
menjadi kursi, maka kursi diberikan kepada partai politik yang memiliki akumulasi
perolehan suara terbanyak secara berturut-turut di provinsi yang bersangkutan.

Pasal 208

Penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 205 ayat (7) dan Pasal 206 dialokasikan bagi daerah pemilihan yang masih memiliki sisa kursi.
Pasal 209

Dalam hal daerah pemilihan adalah provinsi maka penghitungan sisa suara
dilakukan habis di daerah pemilihan tersebut.

Pasal 210

Ketentuan lebih lanjut penetapan perolehan kursi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 205, Pasal 206, Pasal 207, Pasal 208, dan Pasal 209 diatur dalam
peraturan KPU.

Pasal 211

(1) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD provinsi
ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara sah yang telah
ditetapkan oleh KPU provinsi dengan angka BPP DPRD di daerah pemilihan
masing-masing.

(2) BPP DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan cara
membagi jumlah perolehan suara sah Partai Politik Peserta Pemilu untuk
anggota DPRD provinsi dengan jumlah kursi anggota DPRD provinsi di
daerah pemilihan masing-masing.

(3) Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah dialokasikan berdasarkan BPP
DPRD, maka perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dilakukan dengan
cara membagikan sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak satu persatu
sampai habis.

Pasal 212

(1) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD
kabupaten/kota ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara
sah yang telah ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota dengan angka BPP
DPRD di daerah pemilihan masing-masing.

(2) BPP DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan cara
membagi jumlah perolehan suara sah Partai Politik Peserta Pemilu untuk
pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota dengan jumlah kursi anggota
DPRD kabupaten/kota di daerah pemilihan masing-masing.

(3) Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah dialokasikan berdasarkan BPP
DPRD, maka perolehan kursi partai politik peserta pemilu dilakukan dengan
cara membagikan sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak satu persatu
sampai habis.


Bagian Kedua
CETRO (Center for Electoral Reform)
69
Penetapan Calon Terpilih

Pasal 213

(1) Calon terpilih anggota DPR dan anggota DPD ditetapkan oleh KPU.

(2) Calon terpilih anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh KPU provinsi.

(3) Calon terpilih anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU
kabupaten/kota.

Pasal 214

Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan:
(1) pemilihan.
a. calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya
30% (tiga puluh perseratus) dari BPP;
b. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak
daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi
diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon
yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus)
dari BPP;
c. dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a
dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan
kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang
memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari
BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus)
dari BPP;
d. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari
jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang
belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut;
e. dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30%
(tiga puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan
nomor urut;

Pasal 215

(2) Penetapan calon terpilih anggota DPD didasarkan pada nama calon yang
memperoleh suara terbanyak pertama, kedua, ketiga, dan keempat di
provinsi yang bersangkutan.

(3) Dalam hal perolehan suara calon terpilih keempat terdapat jumlah suara
yang sama, calon yang memperoleh dukungan pemilih yang lebih merata
penyebarannya di seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut ditetapkan
sebagai calon terpilih.

(4) KPU menetapkan calon pengganti antar waktu anggota DPD dari nama calon
yang memperoleh suara terbanyak kelima, keenam, ketujuh, dan kedelapan
di provinsi yang bersangkutan.
(Center for Electoral Reform)
70
BAB XIV
PEMBERITAHUAN CALON TERPILIH

Pasal 216

(1) Pemberitahuan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota dilakukan setelah ditetapkan oleh KPU, KPU provinsi, dan
KPU kabupaten/kota.

(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara
tertulis kepada pengurus Partai Politik Peserta Pemilu sesuai dengan
tingkatannya dengan tembusan kepada calon terpilih yang bersangkutan.

Pasal 217

(1) Pemberitahuan calon terpilih anggota DPD dilakukan setelah ditetapkan oleh
KPU.

(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara
tertulis kepada calon terpilih anggota DPD yang memperoleh suara
terbanyak pertama, kedua, ketiga, dan keempat dengan tembusan kepada
gubernur dan KPU provinsi yang bersangkutan.

BAB XV
PENGGANTIAN CALON TERPILIH

Pasal 218

(1) Penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota dilakukan apabila calon terpilih yang bersangkutan:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri;
c. tidak lagi memenuhi syarat untuk menjadi anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, atau DPRD kabupaten/kota;
d. terbukti melakukan tindak pidana Pemilu berupa politik uang atau
pemalsuan dokumen berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Dalam hal calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf
c, atau huruf d telah ditetapkan dengan keputusan KPU, KPU provinsi atau
KPU kabupaten/kota, keputusan penetapan yang bersangkutan batal demi
hukum.

(3) Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti dengan calon dari daftar calon
tetap Partai Politik Peserta Pemilu pada daerah pemilihan yang sama
berdasarkan surat keputusan pimpinan partai politik yang bersangkutan.
nyesuaikan hasil lobby
(4) Calon terpilih anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti
dengan calon yang memperoleh suara terbanyak berikutnya.

(5) KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota menetapkan calon anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai calon terpilih
pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan keputusan KPU,
KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota .

BAB XVI
PEMUNGUTAN SUARA ULANG, PENGHITUNGAN SUARA ULANG,
DAN REKAPITULASI SUARA ULANG
Bagian Kesatu
Pemungutan Suara Ulang

Pasal 219

(1) Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi bencana alam
dan/atau kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak
dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan.

(2) Pemungutan suara di TPS wajib diulang apabila dari hasil penelitian dan
pemeriksaan Pengawas Pemilu Lapangan terbukti terdapat keadaan sebagai
berikut:
a. pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan
suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan;
b. petugas KPPS meminta pemilih memberikan tanda khusus,
menandatangani, atau menuliskan nama atau alamatnya pada surat
suara yang sudah digunakan; dan/atau
c. petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah
digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah.

Pasal 220

(1) Pemungutan suara ulang diusulkan oleh KPPS dengan menyebutkan
keadaan yang menyebabkan diadakannya pemungutan suara ulang.

(2) Usul KPPS diteruskan kepada PPK untuk selanjutnya diajukan kepada KPU
kabupaten/kota untuk pengambilan keputusan diadakannya pemungutan
suara ulang.

(3) Pemungutan suara ulang di TPS dilaksanakan paling lama 10 (sepuluh) hari
setelah hari/tanggal pemungutan suara berdasarkan keputusan PPK.

Bagian Kedua
Penghitungan Suara Ulang
dan Rekapitulasi Suara Ulang

Pasal 221

(1) Penghitungan suara ulang berupa penghitungan ulang surat suara di TPS,
penghitungan suara ulang di PPK, dan rekapitulasi suara ulang di PPK, di
KPU kabupaten/kota, dan di KPU provinsi.

(2) Penghitungan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi hal sebagai berikut:
a. kerusuhan yang mengakibatkan penghitungan suara tidak dapat
dilanjutkan;
b. penghitungan suara dilakukan secara tertutup;
c. penghitungan suara dilakukan di tempat yang kurang terang atau yang
kurang mendapat penerangan cahaya;
d. penghitungan suara dilakukan dengan suara yang kurang jelas;
e. penghitungan suara dicatat dengan tulisan yang kurang jelas;
f. saksi Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan, dan warga
masyarakat tidak dapat menyaksikan proses penghitungan suara secara
jelas;
g. penghitungan suara dilakukan di tempat lain di luar tempat dan waktu
yang telah ditentukan; dan/atau
h. terjadi ketidakkonsistenan dalam menentukan surat suara yang sah dan
surat suara yang tidak sah.

Pasal 222

(1) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 ayat (2),
saksi Peserta Pemilu atau Pengawas Pemilu Lapangan dapat mengusulkan
penghitungan ulang surat suara di TPS yang bersangkutan.

(2) Penghitungan ulang surat suara di TPS harus dilaksanakan dan selesai pada
hari/tanggal yang sama dengan hari/tanggal pemungutan suara.

Pasal 223

Rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK, KPU kabupaten/kota, dan KPU
provinsi dapat diulang apabila terjadi keadaan sebagai berikut:
a. kerusuhan yang mengakibatkan rekapitulasi hasil penghitungan suara tidak
dapat dilanjutkan;
b. rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan secara tertutup;
c. rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan di tempat yang kurang terang atau kurang mendapatkan penerangan cahaya;
d. rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan dengan suara yang kurang
jelas;
e. rekapitulasi hasil penghitungan suara dicatat dengan tulisan yang kurang jelas;
f. saksi Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan, pemantau Pemilu, dan
warga masyarakat tidak dapat menyaksikan proses rekapitulasi hasil
penghitungan suara secara jelas; dan/atau
g. rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan di tempat lain di luar tempat dan waktu yang telah ditentukan.

Pasal 224

(1) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 223, saksi
Peserta Pemilu atau Panwaslu kecamatan, Panwaslu kabupaten/kota, dan
Panwaslu provinsi dapat mengusulkan untuk dilaksanakan rekapitulasi hasil
penghitungan suara di PPK, KPU kabupaten/kota, dan KPU provinsi yang
bersangkutan.

(2) Rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK, KPU kabupaten/kota, dan KPU provinsi harus dilaksanakan dan selesai pada hari/tanggal pelaksanaan
rekapitulasi.
CETRO (Center for Electoral Reform)
73
Pasal 225

(1) Dalam hal terdapat perbedaan jumlah suara pada sertifikat hasil
penghitungan suara dari TPS dengan sertifikat hasil penghitungan suara
yang diterima PPK melalui PPS, saksi Peserta Pemilu tingkat kecamatan dan
saksi Peserta Pemilu di TPS, Panwaslu kecamatan, atau Pengawas Pemilu
Lapangan, maka PPK melakukan penghitungan suara ulang untuk TPS yang
bersangkutan.

(2) Penghitungan suara ulang di TPS dan rekapitulasi hasil penghitungan suara
ulang di PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 ayat (2) dan Pasal
223 dilaksanakan paling lama 5 (lima) hari setelah hari/tanggal pemungutan
suara berdasarkan keputusan PPK.

Pasal 226

Penghitungan suara ulang untuk TPS yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 225 ayat (1) dilakukan dengan cara membuka kotak suara hanya dilakukan di PPK.

Pasal 227

(1) Dalam hal terjadi perbedaan jumlah suara pada sertifikat rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara dari PPK dengan sertifikat rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara yang diterima oleh KPU kabupaten/kota,
saksi Peserta Pemilu tingkat kabupaten/kota dan saksi Peserta Pemilu
tingkat kecamatan, Panwaslu kabupaten/Kota, atau Panwaslu kecamatan,
maka KPU kabupaten/kota melakukan pembetulan data melalui pengecekan
dan/atau rekapitulasi ulang data yang termuat pada sertifikat rekapitulasi
hasil penghitungan perolehan suara untuk PPK yang bersangkutan.

(2) Dalam hal terjadi perbedaan data jumlah suara pada sertifikat rekapitulasi
hasil penghitungan suara dari KPU kabupaten/kota dengan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan suara yang diterima oleh KPU provinsi, saksi
Peserta Pemilu tingkat provinsi dan saksi Peserta Pemilu tingkat
kabupaten/kota, panitia pengawas Pemilu provinsi, atau panitia pengawas
Pemilu kabupaten/kota, maka KPU provinsi melakukan pembetulan data
melalui pengecekan dan/atau rekapitulasi ulang data yang termuat pada
sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara untuk KPU
kabupaten/kota yang bersangkutan.

(3) Dalam hal terjadi perbedaan data jumlah suara pada sertifikat rekapitulasi
hasil penghitungan suara dari KPU provinsi dengan sertifikat rekapitulasi
hasil penghitungan suara yang diterima oleh KPU, saksi Peserta Pemilu
tingkat pusat dan saksi Peserta Pemilu tingkat provinsi, Badan Pengawas
Pemilu, atau panitia pengawas Pemilu provinsi, maka KPU melakukan
pembetulan data melalui pengecekan dan/atau rekapitulasi ulang data yang
termuat pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara untuk
KPU provinsi yang bersangkutan.

BAB XVII
PEMILU LANJUTAN DAN PEMILU SUSULAN

Pasal 228

(1) Dalam hal di sebagian atau seluruh daerah pemilihan terjadi kerusuhan,
gangguan keamanan, bencana alam atau gangguan lainnya yang
mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat
dilaksanakan, dilakukan Pemilu lanjutan.

(2) Pelaksanaan Pemilu lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai
dari tahap penyelenggaraan Pemilu yang terhenti.
Pasal 229

(1) Dalam hal di suatu daerah pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan
keamanan, bencana alam atau gangguan lainnya yang mengakibatkan
seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan,
dilakukan Pemilu susulan.

(2) Pelaksanaan Pemilu susulan dilakukan untuk seluruh tahapan
penyelengaraan Pemilu.

Pasal 230

(1) Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan dilaksanakan setelah ada penetapan
penundaan pelaksanaan Pemilu.

(2) Penetapan penundaan pelaksanaan Pemilu dilakukan oleh:
a. KPU kabupaten/kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan
Pemilu meliputi satu atau beberapa desa/kelurahan;
b. KPU kabupaten/kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan
Pemilu meliputi satu atau beberapa kecamatan;
c. KPU provinsi atas usul KPU kabupaten/kota apabila penundaan
pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa kabupaten/kota;
d. KPU atas usul KPU provinsi apabila penundaan pelaksanaan Pemilu
meliputi satu atau beberapa provinsi.

(3) Dalam hal Pemilu tidak dapat dilaksanakan di 40% (empat puluh perseratus)
jumlah provinsi atau 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah pemilih terdaftar
secara nasional tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih, penetapan
Pemilu lanjutan atau Pemilu susulan dilakukan oleh Presiden atas usul KPU.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan waktu pelaksanaan Pemilu
lanjutan atau Pemilu susulan diatur dalam peraturan KPU.

BAB XVIII
PEMANTAUAN PEMILU
Bagian Kesatu
Pemantau Pemilu

Pasal 231

(1) Pelaksanaan Pemilu dapat dipantau oleh pemantau Pemilu.

(2) Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. lembaga swadaya masyarakat pemantau Pemilu dalam negeri;
b. badan hukum dalam negeri;
c. lembaga pemantau pemilihan dari luar negeri;
CETRO (Center for Electoral Reform)
75
d. lembaga pemilihan luar negeri; dan
e. perwakilan negara sahabat di Indonesia.

Bagian Kedua
Persyaratan dan Tata Cara Menjadi Pemantau Pemilu

Pasal 232

(1) Pemantau Pemilu harus memenuhi persyaratan:
a. bersifat independen;
b. mempunyai sumber dana yang jelas; dan
c. terdaftar dan memperoleh akreditasi dari KPU, KPU provinsi, atau KPU
kabupaten/kota sesuai dengan cakupan wilayah pemantauannya.

(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemantau dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (2)
huruf c, huruf d, dan huruf e harus memenuhi persyaratan khusus:
a. mempunyai kompetensi dan pengalaman sebagai pemantau Pemilu di
negara lain, yang dibuktikan dengan surat pernyataan dari organisasi
pemantau yang bersangkutan atau dari pemerintah negara lain tempat
yang bersangkutan pernah melakukan pemantauan;
b. memperoleh visa untuk menjadi pemantau Pemilu dari Perwakilan
Republik Indonesia di Luar Negeri;
c. memenuhi tata cara melakukan pemantauan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.

Pasal 233

(1) Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (2)
mengajukan permohonan untuk melakukan pemantauan Pemilu dengan
mengisi formulir pendaftaran yang disediakan oleh KPU, KPU provinsi, atau
KPU kabupaten/kota.

(2) Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengembalikan
formulir pendaftaran kepada KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota
dengan menyerahkan kelengkapan administrasi yang meliputi:
a. profil organisasi/lembaga;
b. nama dan jumlah anggota pemantau;
c. alokasi anggota pemantau yang akan ditempatkan ke daerah;
d. rencana dan jadwal kegiatan pemantauan serta daerah yang ingin
dipantau;
e. nama, alamat, dan pekerjaan penanggung jawab pemantau yang
dilampiri pas foto diri terbaru;

(3) KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota meneliti kelengkapan
administrasi pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Pemantau Pemilu yang memenuhi persyaratan diberi tanda terdaftar sebagai
pemantau Pemilu serta mendapatkan sertifikat akreditasi.
ETRO (Center for Electoral Reform)
76
(5) Dalam hal pemantau Pemilu tidak memenuhi kelengkapan administrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemantau Pemilu yang bersangkutan
dilarang melakukan pemantauan Pemilu.

(6) Khusus pemantau yang berasal dari perwakilan negara sahabat di Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (2) huruf e, yang
bersangkutan harus mendapatkan rekomendasi Menteri Luar Negeri.

(7) Tata cara akreditasi pemantau Pemilu diatur lebih lanjut dalam peraturan
KPU.

Bagian Ketiga
Wilayah Kerja Pemantau Pemilu

Pasal 234

(1) Pemantau Pemilu melakukan pemantauan pada satu daerah pemantauan
sesuai dengan rencana pemantauan yang telah diajukan kepada KPU, KPU
provinsi, atau KPU kabupaten/kota.

(2) Pemantau Pemilu yang melakukan pemantauan pada lebih dari satu provinsi
harus mendapatkan persetujuan KPU dan wajib melapor ke KPU provinsi
masing-masing.

(3) Pemantau Pemilu yang melakukan pemantauan pada lebih dari satu
kabupaten/kota pada satu provinsi harus mendapatkan persetujuan KPU
provinsi dan wajib melapor ke KPU kabupaten/kota masing-masing.

(4) Persetujuan atas wilayah kerja pemantau luar negeri dikeluarkan oleh KPU.

Bagian Keempat
Tanda Pengenal Pemantau Pemilu

Pasal 235

(1) Tanda pengenal pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231
ayat (2) huruf a dan huruf b dikeluarkan oleh KPU, KPU provinsi, atau KPU
kabupaten/kota sesuai dengan wilayah kerja yang bersangkutan.

(2) Tanda pengenal pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231
ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e dikeluarkan oleh KPU.

(3) Tanda pengenal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. tanda pengenal pemantau asing biasa; dan
b. tanda pengenal pemantau asing diplomat.

(4) Pada tanda pengenal pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dimuat informasi tentang :
a. nama dan alamat pemantau Pemilu yang memberi tugas;
b. nama anggota pemantau yang bersangkutan;
c. pas foto diri terbaru anggota pemantau yang bersangkutan;
d. wilayah kerja pemantauan; dan
e. nomor dan tanggal akreditasi.O (Center for Electoral Reform)
77
(5) Tanda pengenal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan dalam
setiap kegiatan pemantauan Pemilu.

(6) Bentuk dan format tanda pengenal pemantau Pemilu diatur dalam peraturan
KPU.

Bagian Kelima
Hak dan Kewajiban Pemantau Pemilu

Pasal 236

(1) Pemantau Pemilu mempunyai hak:
a. mendapat perlindungan hukum dan keamanan dari Pemerintah
Indonesia;
b. mengamati dan mengumpulkan informasi proses penyelenggaraan
Pemilu;
c. memantau proses pemungutan dan penghitungan suara dari luar TPS;
d. mendapatkan akses informasi yang tersedia dari KPU, KPU provinsi, dan
KPU kabupaten/kota; dan
e. menggunakan perlengkapan untuk mendokumentasikan kegiatan
pemantauan sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan Pemilu.

(2) Pemantau asing yang berasal dari perwakilan negara asing yang berstatus
diplomat berhak atas kekebalan diplomatik selama menjalankan tugas
sebagai pemantau Pemilu.

Pasal 237

Pemantau Pemilu mempunyai kewajiban:
a. mematuhi peraturan perundang-undangan dan menghormati kedaulatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. mematuhi kode etik pemantau Pemilu yang diterbitkan oleh KPU;
c. melaporkan diri, mengurus proses akreditasi dan tanda pengenal ke KPU, KPU
provinsi atau KPU kabupaten/kota sesuai dengan wilayah kerja pemantauan;
d. menggunakan tanda pengenal selama menjalankan pemantauan;
e. menanggung semua biaya pelaksanaan kegiatan pemantauan;
f. melaporkan jumlah dan keberadaan personel pemantau Pemilu serta tenaga
pendukung administratif kepada KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota
sesuai dengan wilayah pemantauan;
g. menghormati kedudukan, tugas, dan wewenang penyelenggara Pemilu;
h. menghormati adat istiadat dan budaya setempat;
i. bersikap netral dan objektif dalam melaksanakan pemantauan;
j. menjamin akurasi data dan informasi hasil pemantauan yang dilakukan dengan
mengklarifikasikan kepada KPU, KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota; dan
k. melaporkan hasil akhir pemantauan pelaksanaan Pemilu kepada KPU, KPU
provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

Bagian Keenam
Larangan bagi Pemantau Pemilu

8
Pasal 238

Pemantau Pemilu dilarang:
a. melakukan kegiatan yang mengganggu proses pelaksanaan Pemilu;
b. memengaruhi pemilih dalam menggunakan haknya untuk memilih;
c. mencampuri pelaksanaan tugas dan wewenang penyelenggara Pemilu;
d. memihak kepada Peserta Pemilu tertentu;
e. menggunakan seragam, warna, atau atribut lain yang memberikan kesan
mendukung Peserta Pemilu;
f. menerima atau memberikan hadiah, imbalan, atau fasilitas apa pun dari atau
kepada Peserta Pemilu;
g. mencampuri dengan cara apa pun urusan politik dan pemerintahan dalam
negeri Indonesia;
h. membawa senjata, bahan peledak dan/atau bahan berbahaya lainnya selama
melakukan tugas pemantauan;
i. masuk ke dalam TPS;
j. melakukan kegiatan lain yang tidak sesuai dengan tujuan sebagai pemantau
Pemilu.

Bagian Ketujuh
Sanksi bagi Pemantau Pemilu

pasal 239

Pemantau Pemilu yang melanggar kewajiban dan larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 237 dan Pasal 238 dicabut status dan haknya sebagai
pemantau Pemilu.

Pasal 240

(1) Pelanggaran oleh pemantau Pemilu atas kewajiban dan larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 dan Pasal 238 dilaporkan kepada
KPU kabupaten/kota untuk ditindaklanjuti.

(2) Dalam hal pelanggaran atas kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 237 dan Pasal 238 dilakukan oleh pemantau dalam negeri dan
terbukti kebenarannya, maka KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota
mencabut status dan haknya sebagai pemantau Pemilu.

(3) Dalam hal pelanggaran atas kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 237 dan Pasal 238 dilakukan oleh pemantau asing dan terbukti
kebenarannya, maka KPU mencabut status dan haknya sebagai pemantau
Pemilu.

(4) Pelanggaran atas kewajiban dan larangan yang bersifat tindak pidana
dan/atau perdata yang dilakukan oleh pemantau Pemilu, pemantau Pemilu
yang bersangkutan dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.

Pasal 241

Menteri yang membidangi hukum dan hak asasi manusia menindaklanjuti
penetapan pencabutan status dan hak pemantau asing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 240 ayat (3) setelah berkoordinasi dengan Menteri Luar Negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedelapan
Pelaksanaan Pemantauan

Pasal 242

Sebelum melaksanakan pemantauan, pemantau Pemilu melapor kepada KPU,
KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di daerah.

Pasal 243

Petunjuk teknis pelaksanaan pemantauan diatur dalam peraturan KPU dengan
memperhatikan pertimbangan dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

BAB XIX
PARTISIPASI MASYARAKAT
DALAM PENYELENGGARAAN PEMILU

Pasal 244

(1) Pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat.
(2) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
dalam bentuk sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survei atau
jajak pendapat tentang Pemilu, dan penghitungan cepat hasil Pemilu, dengan
ketentuan:
a. tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan
salah satu Peserta Pemilu.
b. tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan Pemilu.
c. bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas.
d. mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan
Pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar.

Pasal 245

(1) Partisipasi masyarakat dalam bentuk sosialisasi Pemilu, pendidikan politik
bagi pemilih, survei atau jajak pendapat tentang Pemilu, dan penghitungan
cepat hasil Pemilu wajib mengikuti ketentuan yang diatur oleh KPU.

(2) Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tidak boleh dilakukan pada
masa tenang.

(3) Pengumuman hasil penghitungan cepat hanya boleh dilakukan paling cepat
pada hari berikutnya dari hari/tanggal pemungutan suara.

(4) Pelaksana kegiatan penghitungan cepat wajib memberitahukan metodologi
yang digunakannya dan hasil penghitungan cepat yang dilakukannya bukan
merupakan hasil resmi penyelenggara Pemilu.

(5) Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) merupakan
tindak pidana Pemilu.

Pasal 246

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan Pemilu diatur dalam peraturan KPU.

BAB XX
PENYELESAIAN PELANGGARAN PEMILU
DAN PERSELISIHAN HASIL PEMILU
Bagian Kesatu
Penyelesaian Pelanggaran Pemilu
Paragraf 1
Penanganan Laporan Pelanggaran Pemilu

Pasal 247

(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu
kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri
menerima laporan pelanggaran Pemilu pada setiap tahapan
penyelenggaraan Pemilu.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan oleh:
a. Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih;
b. pemantau Pemilu; atau
c. Peserta Pemilu.

(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis
kepada Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu
kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri
dengan paling sedikit memuat:
a. nama dan alamat pelapor;
b. pihak terlapor;
c. waktu dan tempat kejadian perkara; dan
d. uraian kejadian.

(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 3
(tiga) hari sejak terjadinya pelanggaran Pemilu.

(5) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu
kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri
mengkaji setiap laporan pelanggaran yang diterima.

(6) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbukti
kebenarannya, Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota,
Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu
Luar Negeri wajib menindaklanjuti laporan paling lama 3 (tiga) hari setelah
laporan diterima.

(7) Dalam hal Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu
kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri
memerlukan keterangan tambahan dari pelapor mengenai tindak lanjut
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 5 (lima) hari
setelah laporan diterima.
81
(8) Laporan pelanggaran administrasi Pemilu diteruskan kepada KPU, KPU
provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

(9) Laporan pelanggaran pidana Pemilu diteruskan kepada penyidik Kepolisian
Negara Republik Indonesia.

(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan pelanggaran Pemilu
diatur dalam peraturan Bawaslu.


Paragraf 2
Pelanggaran Administrasi Pemilu

Pasal 248

Pelanggaran administrasi Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang ini yang bukan merupakan ketentuan pidana Pemilu dan terhadap ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU.

Pasal 249

Pelanggaran administrasi Pemilu diselesaikan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota berdasarkan laporan dari Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan
Panwaslu kabupaten/kota sesuai dengan tingkatannya.

Pasal 250

KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memeriksa dan memutus
pelanggaran administrasi Pemilu dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak
diterimanya laporan dari Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota.

Pasal 251

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi Pemilu diatur dalam peraturan KPU.

Paragraf 3
Pelanggaran Pidana Pemilu

Pasal 252

Pelanggaran pidana Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana
Pemilu yang diatur dalam Undang-Undang ini yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

Pasal 253

(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia menyampaikan hasil
penyidikannya disertai berkas perkara kepada penuntut umum paling lama
14 (empat belas) hari sejak menerima laporan dari Bawaslu, Panwaslu
provinsi, Panwaslu kabupaten/kota.

(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, dalam waktu paling lama
3 (tiga) hari penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik
kepolisian disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk
dilengkapi.
(3) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam waktu paling lama 3
(tiga) hari sejak tanggal penerimaan berkas sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada
penuntut umum.

(4) Penuntut umum melimpahkan berkas perkara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kepada pengadilan negeri paling lama 5 (lima) hari sejak menerima
berkas perkara.

Pasal 254

(1) Pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
pidana Pemilu menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

(2) Sidang pemeriksaan perkara pidana Pemilu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh hakim khusus.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hakim khusus diatur dengan peraturan
Mahkamah Agung.

Pasal 255

(1) Pengadilan negeri memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana
Pemilu paling lama 7 (tujuh) hari setelah pelimpahan berkas perkara.

(2) Dalam hal terhadap putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diajukan banding, permohonan banding diajukan paling lama 3 (tiga) hari
setelah putusan dibacakan.

(3) Pengadilan negeri melimpahkan berkas perkara permohonan banding
kepada pengadilan tinggi paling lama 3 (tiga) hari setelah permohonan
banding diterima.

(4) Pengadilan tinggi memeriksa dan memutus perkara banding sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling lama 7 (tujuh) hari setelah permohonan
banding diterima.

(5) Putusan pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan
putusan terakhir dan mengikat serta tidak ada upaya hukum lain.

Pasal 256

(1) Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 255 ayat (1) dan
ayat (4) harus sudah disampaikan kepada penuntut umum paling lambat 3
(tiga) hari setelah putusan dibacakan.

(2) Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 255 harus
dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) hari setelah putusan diterima oleh jaksa.

Pasal 257

(1) Putusan pengadilan terhadap kasus pelanggaran pidana Pemilu yang
menurut Undang-Undang ini dapat memengaruhi perolehan suara Peserta
Pemilu harus sudah selesai paling lama 5 (lima) hari sebelum KPU
menetapkan hasil Pemilu secara nasional.
83
(2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti putusan
pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Salinan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
sudah diterima KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota dan Peserta
Pemilu pada hari putusan pengadilan tersebut dibacakan.

Bagian Kedua
Perselisihan Hasil Pemilu

Pasal 258

(1) Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta
Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional.

(2) Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan penetapan
perolehan suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu.

Pasal 259

(1) Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu
secara nasional, Peserta Pemilu dapat mengajukan permohonan pembatalan
penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada Mahkamah
Kostitusi.

(2) Peserta Pemilu mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 X 24 (tiga kali dua puluh
empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu
secara nasional oleh KPU.

(3) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti putusan
Mahkamah Konstitusi.

BAB XXI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 260
Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak
pilihnya, dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24
(dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 261

Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar
mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk
pengisian daftar pemilih, dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling
lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta
rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Pasal 262

Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan atau
dengan menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat pendaftaran
pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam
Pemilu menurut Undang-Undang ini, dipidana penjara paling singkat 12 (dua
belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 263

Petugas PPS/PPLN yang dengan sengaja tidak memperbaiki daftar pemilih
sementara setelah mendapat masukan dari masyarakat dan Peserta Pemilu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6), Pasal 37 ayat (2), dan Pasal 43
ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling
lama 6 (enam) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah)
dan paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).

Pasal 264

Setiap anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN
yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu
kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan
Pengawas Pemilu Luar Negeri dalam melakukan pemutakhiran data pemilih,
penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan
pengumuman daftar pemilih sementara, penetapan dan pengumuman daftar
pemilih tetap, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap yang merugikan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 265

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan curang untuk
menyesatkan seseorang atau dengan memaksa atau dengan menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya untuk memperoleh dukungan bagi
pencalonan anggota DPD dalam Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga
puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta
rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 266

Setiap orang yang dengan sengaja membuat surat atau dokumen dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang memakai, atau setiap orang yang dengan sengaja menggunakan surat atau dokumen yang dipalsukan untuk menjadi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota atau calon Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan dalam Pasal 73, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

Pasal 267

Setiap anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang tidak
menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu
kabupaten/kota dalam melaksanakan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3), dipidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 268

Setiap anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang tidak
menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi dan Panwaslu
kabupaten/kota dalam pelaksanaan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu
dan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3) dan dalam Pasal 70 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 269

Setiap orang dengan sengaja melakukan kampanye di luar jadwal waktu yang
telah ditetapkan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota untuk masing-masing Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82, dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) atau paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Pasal 270

Setiap orang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, atau huruf i dipidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 271

Setiap pelaksana kampanye yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 84 ayat (2), dikenai pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan
paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp30.000.000,00 (tiga
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 272

Setiap Ketua/Wakil Ketua/Ketua Muda/hakim Agung/hakim Konstitusi, hakim-hakim pada semua badan peradilan, Ketua/Wakil Ketua dan anggota Badan
Pemeriksa Keuangan, Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur
Bank Indonesia serta Pejabat BUMN/BUMD yang melanggar larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (3) dikenai pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda
paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 273

Setiap pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia, kepala desa, dan perangkat desa, dan anggota badan permusyaratan desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (3) dan ayat (5) dikenai pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Pasal 274

Pelaksana kampanye yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang
atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung
ataupun tidak langsung agar tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau
memilih Peserta Pemilu tertentu, atau menggunakan haknya untuk memilih
dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 87 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 275

Anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU,
pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat
KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU
kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindak pidana Pemilu dalam pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 276

Setiap orang yang memberi atau menerima dana kampanye melebihi batas yang
ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2) dan
Pasal 133 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6
(enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 277

Pelaksana kampanye yang terbukti menerima sumbangan dan/atau bantuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan
denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak
Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 278

Setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau
mengganggu jalannya kampanye Pemilu dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda
paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 297

(1) Pelaksana kampanye yang karena kelalaiannya mengakibatkan
terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu di tingkat desa/kelurahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda
paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
karena kesengajaan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).

Pasal 280

Setiap pelaksana, peserta, atau petugas kampanye yang terbukti dengan sengaja atau lalai yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 281

Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam
laporan dana kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 dan Pasal 135
ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)
bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua
puluh empat juta rupiah).

Pasal 282

Setiap orang atau lembaga survei yang mengumumkan hasil survei atau hasil jejak pendapat dalam masa tenang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Pasal 283

Ketua KPU yang dengan sengaja menetapkan jumlah surat suara yang dicetak
melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua
belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).

Pasal 284

Setiap perusahaan pencetak surat suara yang dengan sengaja mencetak surat
suara melebihi jumlah yang ditetapkan oleh KPU sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 146 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh
empat) bulan dan paling lama 48 (empat puluh delapan) bulan dan denda paling
sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 285

Setiap perusahaan pencetak surat suara yang tidak menjaga kerahasian,
keamanan, dan keutuhan surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146
ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat)
bulan dan paling lama 48 (empat puluh delapan) bulan dan denda paling sedikit
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 286
ETRO (Center for Electoral Reform)
Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta
rupiah).

Pasal 287

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan dan/atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk
memilih atau melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan
ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan
denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).


Pasal 288

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan
suara seorang pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan Peserta Pemilu
tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suara Peserta Pemilu menjadi berkurang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000, 00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 289

Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara mengaku dirinya sebagai orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).

Pasal 290

Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja memberikan
suaranya lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan
dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).

Pasal 291

Setiap orang yang dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) dan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 292

Seorang majikan/atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang
pekerja untuk memberikan suaranya pada pemungutan suara, kecuali dengan
alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
89
Pasal 293

Setiap orang yang dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil
pemungutan suara yang sudah disegel, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan
denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak
Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 294

Ketua dan anggota KPPS/KPPSLN yang dengan sengaja tidak memberikan surat suara pengganti hanya satu kali kepada pemilih yang menerima surat suara yang rusak dan tidak mencatat surat suara yang rusak dalam berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Pasal 295

Setiap orang yang bertugas membantu pemilih yang dengan sengaja
memberitahukan pilihan pemilih kepada orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Pasal 296

(1) Dalam hal KPU kabupaten/kota tidak menetapkan pemungutan suara ulang
di TPS sementara persyaratan dalam Undang-Undang ini telah terpenuhi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220 ayat (2), anggota KPU
kabupaten/kota dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)
bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua
puluh empat juta rupiah).

(2) Ketua dan anggota KPPS yang dengan sengaja tidak melaksanakan
ketetapan KPU kabupaten/kota untuk melaksanakan pemungutan suara
ulang di TPS dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan
dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua
belas juta rupiah).

Pasal 297

Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya berita acara pemungutan dan penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara yang sudah disegel, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 298

Setiap orang yang dengan sengaja mengubah berita acara hasil penghitungan
suara dan/atau sertifikat hasil penghitungan suara, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 60 (enam puluh)
bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 299

(1) Anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPK yang karena
kelalaiannya mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara hasil
rekapitulasi penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat penghitungan
suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00
(enam juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (duabelas juta
rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
karena kesengajaan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua
belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling
sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak
Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 300

Setiap orang yang dengan sengaja merusak, mengganggu, atau mendistorsi
sistem informasi penghitungan suara hasil Pemilu, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 60 (enam puluh) bulan dan paling lama 120 (seratus dua
puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 301

Ketua dan anggota KPPS/KPPSLN yang dengan sengaja tidak membuat dan
menandatangani berita acara perolehan suara Peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Pasal 302

Setiap KPPS/KPPSLN yang dengan sengaja tidak memberikan salinan satu
eksemplar berita acara pemungutan dan penghitungan suara, dan sertifikat hasil
penghitungan suara kepada saksi Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan,
PPS, dan PPK melalui PPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (2) dan ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Pasal 303

Setiap KPPS/KPPSLN yang tidak menjaga, mengamankan keutuhan kotak suara, dan menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara pemungutan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara, kepada PPK melalui PPS atau kepada PPLN bagi KPPSLN pada hari yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (4) dan ayat (5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).

Pasal 304

Setiap Pengawas Pemilu Lapangan yang tidak mengawasi penyerahan kotak
suara tersegel kepada PPK dan Panwaslu kecamatan yang tidak mengawasi
penyerahan kotak suara tersegel kepada KPU kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 180 ayat (6), dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda
paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 305

Setiap PPS/PPLN yang tidak mengumumkan hasil penghitungan suara dari
seluruh TPS/TPSLN di wilayah kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Pasal 306

Dalam hal KPU tidak menetapkan perolehan hasil Pemilu anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota secara nasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 199 ayat (2), anggota KPU dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 307

Setiap orang atau lembaga yang melakukan penghitungan cepat yang
mengumumkan hasil penghitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).

Pasal 308

Setiap orang atau lembaga yang melakukan penghitungan cepat yang tidak
memberitahukan bahwa hasil penghitungan cepat bukan merupakan hasil resmi
Pemilu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).

Pasal 309

Ketua dan anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang tidak
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 257 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Pasal 310
92
Ketua dan anggota Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota,
Panwaslu kecamatan, dan/atau Pengawas Pemilu Lapangan/pengawas Pemilu
Luar Negeri yang dengan sengaja tidak menindaklanjuti temuan dan/atau laporan pelanggaran Pemilu yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS/PPLN, dan/atau KPPS/KPPSLN dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 311

Dalam hal penyelenggara Pemilu melakukan pelanggaran pidana Pemilu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260, Pasal 261, Pasal 262, Pasal 265, Pasal 266, Pasal 269, Pasal 270, Pasal 276, Pasal 278, Pasal 281, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 291, Pasal 293, Pasal 295, Pasal 297, Pasal 298, dan Pasal 300, maka pidana bagi yang bersangkutan ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ketentuan pidana yang ditetapkan dalam pasal-pasal tersebut.
BAB XXII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 312

Ketentuan mengenai keikutsertaan partai politik lokal di Aceh dalam Pemilu
anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sepanjang tidak diatur khusus dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, berlaku ketentuan Undang-Undang ini.

Pasal 313

Hasil perolehan suara dari pemilih di luar negeri dimasukkan sebagai perolehan
suara untuk daerah pemilihan Provinsi DKI Jakarta II.

Pasal 314

(1) Dalam hal terdapat daerah pemilihan anggota DPRD provinsi yang sama
dengan daerah pemilihan anggota DPR pada Pemilu 2004, maka daerah
pemilihan DPRD provinsi tersebut disesuaikan dengan perubahan daerah
pemilihan anggota DPR.

(2) Ketentuan lebih lanjut tentang penyesuaian perubahan daerah pemilihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan KPU.

BAB XXIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 315

Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurang-kurangnya
3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya
4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurangkurangnya di 1/2 (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 2004.

Pasal 316

Partai Politik Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315
dapat mengikuti Pemilu 2009 dengan ketentuan:
a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315; atau
b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 315 dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda
gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi
perolehan minimal jumlah kursi; atau
c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 315 dengan membentuk partai politik baru dengan
nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah
kursi; atau
d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004; atau
e. memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk menjadi Partai Politik
Peserta Pemilu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 317

Untuk Pemilu tahun 2009 KPU melakukan penataan ulang daerah pemilihan bagi
provinsi dan kabupaten/kota induk serta provinsi dan kabupaten/kota yang
dibentuk setelah Pemilu tahun 2004.

Pasal 318

Dalam Pemilu tahun 2009, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih.

BAB XXIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 319

Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4277) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4631), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 320

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 31 Maret 2008

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Maret 2008

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA

ANDI MATALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 51

Tidak ada komentar: